Nanda
SK Penetapan |
No SK : 1044/P/2020
Tanggal SK : 2020 |
Nama Karya Budaya | Nanda |
Provinsi | Prov. Bali |
Kota / Kab. | Kota Denpasar |
Domain | Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan |
1. Latar Belakang Sejarah Nanda
Tradisi Nanda merupakan sebuah tari ritual yang dilaksanakan pada upacara pengilen pada beberapa desa adat di wilayah Denpasar Timur. Hingga saat ini tradisi Nanda masih dijumpai di Desa Adat Kesiman, Desa Adat Sumerta, Desa Adat Tembau, Desa Adat Penatih Puri, Desa Adat Taman Poh Manis, Desa Adat Penatih, Desa Adat Bekul, Desa Adat Anggabaya, dan Desa Adat Laplap.
Mengenai pangilen atau pangilen-ilen berasal dari kata ilen-ilen yang berarti tari-tarian (Anonim, 2009: 261) dan mempunyai makna pertunjukan menari. Keseluruhan proses ritual yang dipertunjukkan dengan cara menari itulah yang dinyatakan sebagai ngilen (pangilen-ilen). Ngilen secara etimologi berasal dari kata dasar aileh yang berarti satu kali keliling (Anonim, 2009 : 260). Kata aileh kata dasarnya ileh yang berarti keliling atau putar mendapatkan akhiran an menjadi ilehan yang berarti putaran, karena proses dialektikal terjadi peluluhan pada huruf h dan penggabungan (nyandisuara) e denga a terbentuklah kata ilen. Kata ilen mendapat imbuhan nasal ng berubah menjadi bentuk kata Ngilen yang berarti berbuat satu kali mengelilingi atau berkeliling satu kali putaran. Mengenai prosesi Nanda sebagai sebuah tarian sakral tidak terlepas dari suatu rangkaian upacara yang disebut dengan istilah pangilen atau pangilen-ilen tersebut, kemudian dalam tulisan ini secara wilayah disebutkan berada di wilayah desa-desa penepi siring Kota Denpasar, yaitu Kecamatan Denpasar Timur seperti Desa Adat Kesiman, Penatih Puri, Sumerta, Tambawu, Bekul, Laplap, Penatih, Taman Pohmanis, dan Anggabaya. Rangkaian upacara yang disebut dengan pangilen ini cenderung ditemui di daerah-daerah tersebut, dan tidak menutup kemungkinan prosesi-prosesi tersebut dilaksanakan pula di wilayah-wilayah desa diluar yang disebutkan di atas. Nanda sebagai salah satu warisan kearifan lokal di wilayah-wilayah tersebut tentu memiliki keunikan-keunikan tersendiri dan menyimpan kearifan lokal masyarakat di sekitarnya yang terwarisi hingga saat ini. Nanda jika diambil dari kutipan teks Kusumadewa dapat dikaitkan dengan tradisi trance yang seringkali dekat dengan masyarakat Bali, terlebih lagi prosesi Nanda yang dilaksanakan di beberapa tempat di wilayah Denpasar Timur, seperti Desa Adat Kesiman, Penatih Puri, Sumerta, Tambawu, Penatih, Bekul, Taman Pohmanis, Laplap, dan Anggabaya dan tidak menutup kemungkinan di wilayah-wilayah desa lain yang berada di sekitarnya. Prosesi Nanda menjadi begitu khas, dengan para pamangku dewa sebagai pelaksana prosesi tersebut dengan mengenakan bhusana khusus yang disebut dengan ngerangsuk dan dalam kondisi trance, sebagai sebuah wujud bhakti dan memohon kesejahteraan alam beserta isinya. Kondisi trance dalam beberapa ritus yang sering dijumpai di Denpasar termasuk tradisi Nanda, merupakan hal yang telah dilaksanakan sangat lama, dijelaskan pada kutipan teks di atas bahwa, ketika dilaksanakan aci-aci Ida Bhatara, yaitu persembahan ataupun tata upacara kehadapan para dewa-dewa lokal yang dipuja, ketika para dewa menyambut persembahan itu, maka beliau diyakini akan berkenan turun, meminjam badan manusia, ketika beliau turun disambut dengan sukacita oleh manusia di Mercapada (dunia), dan setelah beliau berkenan turun, maka diyakini segala yang ditanam akan tumbuh subur, beliau bertujuan untuk mensejahterakan wilayahnya, menganugrahi kemakmuran, sehingga orang-orang menyambutnya dengan suka ramya (suka cita). Nampaknya harapan itu pulalah yang melatar belakangi tradisi yang diwarisi di beberapa wilayah desa yang disebutkan diatas. Diawali dengan prosesi madatengan yaitu pada puncak upacara memohon kehadiran para dewata dengan sarana para pamangku pewa, dan ketika para pamangku dewa mangalami kondisi trance, menggunakan bhusana yang sangat khas, maka dimulailah prosesi pangilen yaitu tahapan tahapan khusus termasuk prosesi Nanda di dalamnya yang pada intinya memohon kesejahteraan serta kemakmuran pada wilayahnya. Pada saat proses madatengan yaitu memohon turunya para dewa-dewa yang dipuja, yang menjadi sarana beliau turun tentu bukan orang sembarangan, tentu mereka yang telah dipilih secara sekala-niskala serta seringkali merupakan warisan turun-temurun yang harus dilanjutkan. Mereka adalah para Pamangku yang telah melaksanakan berbagai prosesi secara tradisi sehinga sah sebagai pamangku, atau jan banggul, atau kudarata ataupun berbagai istilah lainya yang artinya merujuk pada satu hal yaitu, mereka yang memegang tugas nyungsung atau sebagai perantara ketika para dewa-dewa lokal yang dipuja berkenan untuk hadir dalam setiap prosesi yang dilaksanakan. Sehingga pada teks diatas yang menjadi perantara ketika bhatara turun yaitu tokoh yang bernama sangkul putih, sebutan sangkul putih sangat tidak asing bagi masyarakat Bali, yaitu beliau yang memaknai gagelaran Kusuma Dewa yang menjadi panduan bagi para pamangku. Sebelum lebih lanjut membahas perihal prosesi Nanda menjadi pentinglah terlebih dahulu dibahas mengenai struktur tatanan yang khas tersebut. Pada beberapa wilayah yang disebutkan di atas, memiliki tatanan para dewa-dewa yang sangat khas, secara umum walaupun banyak variasi ataupun sedikit perbedaan di beberapa wilayah tersebut, namun secara umum struktur tatanan dewa-dewa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, Pura-Pura Kahyangan Tiga dan sangat banyak pura-pura yang mengelilinginya di wilayah-wilayah yang disebutkan diatas, memiliki tatanan seperti Ratu Agung atau Ratu Susunan, Palamakan, Ratu Pamahyun, Pangrurah, dan dewa-dewa yang bersifat penjaga yang bersthana pada palawatan-palawatan berupa Barong, Rangda, dan sebagainya. Struktur yang disebut di atas akan dapat dilihat ketika terdapat prosesi pangilen pada saat piodalan di setiap pura di wilayah-wilayah yang disebutkan di atas, pada prosesi pangilen para Pamangku dengan struktur yang disebutkan di atas duduk di Bale Gede atau Bale Panuhuran, sesuai dengan tata urutan yang tertinggi hingga yang paling bawah, dari hulu ke teben, mengenakan bhusana-bhusana dengan warna yang khas, kemudian diawali dengan proses madatengan, memohon agar kekuatan para dewa berkenan turun, setelah mengalami trance, prosesi pangilen dimulai dengan iringan tabuh khusus yang disebut dengan tabuh laluangan. Menurut I Gede Anom Ranuara (Wawancara, 10 November 2019), kata Nanda berasal dari kata dasar tanda yang katanya berakar dari bahasa Sansekerta yaitu Tandava. Tandava terbentuk dari kata tandu dalam Sansekerta berarti “melompatâ€, jadi Tandava (tandu + akhiran sna) berarti sejenis tarian di mana melompat adalah karakteristiknya yang dominan. Gerakan melompat ditranspormasikan menjadi nengkleng pada tarian Tanda. Tanda juga istilah lain untuk penyebutan Dewa Ludra yaitu Hyang Geni, Hyang Sala, Hyang Tanda dan HyangLudra. Sementara itu menurut Dewa Gede Purwita (Wawancara, 8 November 2019), kata Nanda berasal dari kata dasar tanda, dan kata tanda tersebut dapat merujuk pada kamus Jawa Kuna dari P.J. Zoetmulder. Dalam arti kamus tersebut, tanda memiliki arti sebagai berikut: (1) tanda khas pada bendera/pataka/panji-panji kepunyaan tiap-tiap pahlawan; (2) kategori orang yang berkedudukan tinggi/terkemuka atau pejabat tinggi. Apakah (semula) menguasai ”bendera/panji/pataka” atau pasukan? tetapi rupanya tidak senantiasa menunjukkan pangkat militer. Pigeaud menerjemahkan dengan ”lurah, penghulu”. Apakah dibedakan dari mantri? Akan tetapi tanda-mantri yang pasti dalam catus-tanda-mantri menunjukkan suatu pangkat atau derajat (pemimpin pasukan?). Kemudian berikutnya terdapat kata satanda berarti tiap-tiap pasukan/kompi (”bendera”) yang terpisah-pisah. (Zoetmulder, 1199:1994). Berdasarkan penjelasan yang didapatkan dari Kamus Jawa Kuna tersebut, Purwita menambahkan bahwa prosesi Nanda tersebut berkaitan dengan properti Pajeng Tanda sebagai alat dalam prosesi Nanda itu sendiri yang berkaitan dengan panji/pataka, dan yang berperan dalam prosesi Nanda itu adalah pamangku yang menjabat sebagai pangrurah kemudian menyerahkan kepada pamade atau pamahyun. Walaupun tanda yang dimaksud sebagai properti utama dalam prosesi Nanda tidak serta merta berbentuk panji/pataka namun fungsinya tidak terlepas untuk menunjukkan sebuah sistem atau struktur seperti yang disebutkan oleh Pigeaud dalam kamus Jawa Kuna Zoetmulder di atas, yaitu menunjukan setingkat pejabat penting, kerajaan sejenis lurah yang berkaitan pula dengan jabatan yang disebut mantri (tanda-mantri). Properti pajeng tanda yang digunakan tidak serta merta berbentuk panji/pataka, oleh sebab prosesi Nanda tidak hanya bertumpu pada arti kata yang dijelaskan di atas saja, namun berkaitan dengan prosesi upacara yang dimaksudkan serta fungsi upacara tersebut, sehingga bentuk tanda tidak semata-mata hanya berupa panji/pataka dalam struktur kerajaan, namun berbentuk sesuai dengan fungsi upacara yang diselenggarakan dalam prosesi Nanda tersebut. Dari kedua pendapat di atas terkait dengan prosesi Nanda tersebut yang menjadi penting untuk dimengerti adalah, bahwasanya pemahaman-pemahaman lokal seperti Nanda tersebut merupakan sebuah tatanan khas yang diwarisi begitu lama, dan sangat sulit mencari sumber sastra ataupun kesejarahanya, dan ini justru menjadikan warisan tersebut memiliki nilai warisan tradisi yang sangat tinggi, oleh sebab masyarakat lokal mampu mengadopsi berbagai sumber, mengolahnya menjadi sebuah tatanan yang khas dan merupakan sistem pengetahuan lokal yang diwarisi turun-temurun hingga saat ini. Sehingga Nanda menjadi warisan budaya tak benda yang hidup hingga saat ini di wilayah Denpasar Timur, tepatnya di wilayah Desa Adat Kesiman, Penatih, Sumerta, Tembawu, Penatih Puri, Laplap, Bekul, Taman Pohmanis, Anggabaya dan tidak menutup kemungkinan beberapa wilayah di sekitarnya.
2. Prosesi Nanda sebagai Tarian Sakral pada Upacara Ngilen
Pada saat prosesi pangilen, struktur yang memiliki kedudukan tinggi hanya menyaksikan di Bale Gede, dan yang melaksanakan prosesi di halaman pura, adalah para Pamahyun dan Pangrurah serta para pangabih-pangabih, secara umum prosesi pangilen adalah sebagai berikut:
(1) Nyanjan dengan upakara;
(2) Madatengan;
(3) Pamendakan;
(4) Nyanjan Marerauhan, ngaturang Pangarum-arum sajeng unggan, canang tampelan dan lain sebagainya;
(5) Ngider Bhuwana;
(6) Nanda;
(7) Mawayang-wayang istri dan mawayang-wayang lanang;
(8) Ngurek/Ngunying;
(9) Mabyasa/Ngaruak Bajra;
(10) Mendak Ngaluhur; dan
(11) Ngincang-ngincung.
Secara umum proses pangilen ketika piodalan di pura-pura di sekitar wilayah yang disebutkan diatas adalah demikian, meskipun terdapat sedikit perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaanya namun memiliki tujuan yang sama. Kemudian proses Nanda merupakan bagian dari proses pangilen tersebut, yang bertugas dalam prosesi Nanda secara umum adalah para Pangrurah kemudian diserahkan kepada Pamade dan Pamahyun, khusus mengenai prosesi Nanda yang menjadi bahasan inti dalam tulisan ini, akan dijelaskan ada dua bentuk Nanda yaitu Nanda yang disebutkan diatas yang merupakan bagian dari prosesi pangilen di setiap upacara piodalan, dan prosesi Nanda khusus yang dilaksanakan di Pura Pangrebongan, dilaksanakan pada prosesi Pangebekan pada Wraspati Umanis Dungulan, prosesi Nanda dibagi menjadi dua bentuk yaitu Nanda Pangrebegan dan Nanda Masesapuh. Pada prosesi pangilen yang disebutkan di atas, nampak bahwa masyarakat di wilayah-wilayah yang dimaksud dalam tulisan ini, meyakini bahwa para dewa-dewa yang dipuja secara pemahaman lokal, memiliki struktur-struktur khusus menyerupai struktur kerajaan, selain itu struktur yang diwarisi hingga saat ini apabila diperhatikan merupakan sebuah struktur yang dikonsepkan dengan sangat matang, ini merupakan sebuah warisan kebudayaan tak benda yang sangat penting dimengerti untuk seterusnya. Kemudian struktur tersebut saling berhubungan satu sama lainya, dan hanya di wilayah Kesiman dengan prosesi yang dilaksanakan di Pura Pangrebongan struktur yang disebutkan diatas bertemu, sehingga menjadi prosesi besar yang menyatukan masyarakat Kesiman. Tatanan struktur ataupun kedudukan dewa-dewa lokal tersebut nampak sangat jelas pada prosesi di Pura Agung Petilan yang dapat dilihat pada struktur atau possisi duduk di Bale Murdha/Bale Pangrerauhan yang terdiri dari empat balai tempat duduk. Di luan atau balai satu mulai dari arah utara ke selatan, Ratu Agung di damping oleh Mangku Bumi memegang angin-angin (kipas), Sedan Agung Dalem, Pemayun Cakraningrat, Sedan Agung Pauman, Ratu Pauman, Ratu Batur Dalem, Ratu Batur Pauman, dan Penampa juga mulai dari utara ke selatan, Manca Agung meliputi Ratu Desa, Ratu Dangka, Ratu Pasek, Ratu Manik Aji, Ratu Gaduh dan Ratu Buaji. Balai 2 di ulu Pemayun Agung Dalem, ke kanan adalah Pemayun Pauman, Ukiran, Ketapang, dan ke kiri adalah Meregan., Khayangan Bajangan, Pemade Badung, dan diikuti oleh Pemade-pemade yang lainnya. Balai 3 ditempati oleh Penampa Pemayun Agung Dalem kelompok Pemade ketika Prakulit (Pemangku) semuanya ngayang/Ngilen. Balai 4 ditempati oleh Penampa Ratu Agung dan Manca Agung yaitu Petapan/Ratu Denpasar, Pengastulan, Pengabang, dan Malingkiuh. Tata linggih ini bergerak Prasawia atau berlawanan dengan arah jarum jam. Tata linggih untuk Penampa Ratu Agung Dalem Muter sewaktu-waktu bisa berubah disesuaikan dengan kondisi Prakulit (pemangku) yang ngayah/Ngilen. Tata linggih Ratu Agung Dalem Muter dan tata linggih Pemayun Agung Dalem baku sifatnya yang sudah diwarisi dari leluhur terdahulu. Struktur yang disebutkan diatas merupakan struktur yang sangat khas, diwarisi turun temurun di wilayah tersebut namun tidak diketahui kapan struktur tersebut dikonsepkan, dan sejak kapan struktur tersebut mulai digunakan, struktur tersebut menyatukan pemahaman masyarakat di wilayah Kesiman, Penatih Puri, Sumerta, Penatih, Tambawu, Bekul, Laplap, Taman Pohmanis, Angabaya dan tidak menutup kemungkinan wilayah-wilayah di sekitarnya. Struktur tersebut merupakan pemahaman lokal yang sangat penting untuk dicatat sebagai warisan budaya tak benda bagi wilayahnya. Kemudian terkait dengan bahasan inti yaitu Nanda tentu tidak akan dapat terlepas dengan struktur yang disebutkan di atas, sehingga pada penjelasan awal mengenai Nanda hal-hal di atas menjadi hal yang sangat penting untuk dipahami sebelumnya. Nanda di Pura Agung Petilan Kesiman Prosesi Nanda di Pura Agung Patilan Kesiman dilaksanakan pada saat Upacara Ngebek, perlu diketahui rangkaian upacara atau pangilen di Pura Agung Petilan terdiri atas tiga yaitu; Ngebek, Magpag/Pamendakan Agung, dan Ngarebong. Jadi Upacara pangebekan merupakan permulaan ilen-ilen upacara yang dimana semua rangkaian kegiatan dilaksanakan sepenuhnya pada hari ini dan bertempat di Pura Agung Petilan Pangrebongan (Putra, 2014: 21). Pada upacara ngebek atau pangebekan inilah prosesi Nanda dilaksanakan di Pura Agung Petilan. Walaupun Nanda secara gerak dapat dikategorikan sebagai sebuah tarian, namun dengan kesakralan yang melatar belakanginya ia tidak dapat dipentaskan selain ketika rangkain upacara pangilen baik di Pura Agung Petilan sendiri maupun pura-pura yang ada di sekitar wilayah tersebut. Rangkaian tahapan upacara yang tidak boleh terlepas dari prosesi Nanda di Pura Agung Petilan ketika pangilen pangebekan adalah:
(1) Nyanjan kaluwur,
(2) Mamendak,
(3) Nyanjan Panuwuran/Mararauhan,
(4) Ngarenteng/Ngider Bhuwana,
(5) Mawayang-wayang Istri,
(6) Ngarebeg,
(7) Nanda Nyapuh Jagat,
(8) Wayang-wayang Lanang,
(9) Ngurek/Ngunying,
(10) Panangkilan Ratu Ayu ring Ratu Agung,
(11) Mabiasa,
(12) Mamendak Pangluwuran/Panyineban, dan
(13) Tabuh Agung/Ngincung.
Pada 13 tahapan upacara di atas alat/properti Panjeng Tanda digunakan dua kali, pertama ketika pangrebegan sehingga disebut pula Nanda Pangrebegan di halaman luar pura dan Nanda Masesapuh yang dilaksanakan di utama mandala pura yang merupakan prosesi utama dari Nanda tersebut. Nanda di Pura Dalem Penataran Taman Pohmanis Prosesi Nanda di Pura Dalem Penataran Desa Adat Taman Pohmanis dilangsungkan pada saat upacara piodalan, yaitu hari soma paing kuningan wuku langkir, siklusnya setiap enam bulan (210 hari) sekali. Prosesi Nanda di Desa Adat Taman Pohmanis hanya dilakukan di Pura Dalem Penataran. Dalam konteks ini Pura Dalem Penataran menempati posisi utama pada pura Kahyangan Tiga, hal tersebut dapat dilihat dari sisi struktur pura dan keberadaan komplek pelinggih-pelinggih pemujaan di dalamnya yang memiliki konsep atau kultus dewa raja. Struktur pura dan komplek pelinggih-pelinggih mengindikasikan konsep tatanan kerajaan. Seperti terdapatnya meru tumpang tiga, nama-nama pemujaan, dan sanak yang merupakan pemujaan milik klan. Pada bagian timur berjajar menghadap ke barat dari sisi utara ke selatan berdiri Padmasana, Meru Tumpang Tiga linggih Bhetara Lelangit, Pelinggih Ratu Pemayun, Gedong Ratu Dalem, pelinggih Ratu Sedahan Agung, Pelinggih Ratu Pangenter, Pelinggih Ratu Pengrurah Agung. Sedangkan pada sisi utara menghadap ke selatan berjejer dari timur ke barat adalah pelinggih sanak/klan, yaitu dua pelinggih sanak Moncos klan Pasek Bualu, Sanak Pasek dari Bukit Buwung, Sanak Bandesa Mas, Sanak Pasek Bandesa Muter, Sanak Pande Tonja, Sanak Bandesa Mas. Di nista mandala terdapat pelinggih Gedong kahyangan, Pelinggih Ratu Penyarikan, Ratu Ngurah Sambangan, dan Ratu Ameng-ameng. Kaitan dalam prosesi Nanda adalah pada saat Mangku Gede atau Mangku Dalem turun dari bale piyasan, para keluarga pemilik pelinggih sanak inilah yang akan menandu Mangku Dalem di hadapan Gedong Dalem menghadap ke barat. Prosesi nanda tidak berdiri sendiri sebagai prosesi tunggal akan tetapi menjadi satu kesatuan dengan prosesi besar di pura yang bernama prosesi makecan-kecan atau yang disebut juga dengan pangilen-ngilen. Adapun urutan prosesi makecan-kecan di Pura Dalem Penataran Taman Pohmanis dimulai setelah persembahyangan bersama oleh masyarakat desa selesai. Setelah persembahyangan bersama ada jeda sekitar 30 menit untuk mempersiapkan proses makecan-kecan yang di dalamnya prosesi Nanda digelar. Prosesi makecan-kecan didahului dengan prosesi ngabor (menghaturkan sesaji oleh wanita diiringi dengan menari), dilanjutkan dengan prosesi nedunang pralingga arca, napak pertiwi, nuur oleh para pemangku yang pada prosesinya terdapat proses melinggih bawa yaitu beberapa pemangku mengenakan pakaian kebesaran seperti Pemangku Dalem menggunakan busana warna putih, Pemangku Prajapati mengenakan busana warna putih, Pemangku Pemayun mempergunakan busana warna merah, Pemangku Pengrurah mempergunakan busana warna hitam-putih kotak-kotak (poleng), dan Pemangku Kahyangan mempergunakan busana warna oranye. Setelah prosesi melinggih bawa dilanjutkan dengan ayah-ayahan para sanak istri (perempuan) menari berkeliling purwa daksina dari timur ke selatan berputar selama tiga kali putaran, setelahnya dilanjutkan dengan sanak lanang (pria) diiringi oleh pamangku gumi lanang menari purwa daksina sejumlah tiga kali. Setelah itu dilanjutkan dengan ayahan sanak istri kembali. Setelah prosesi oleh sanak selesai dilanjutkan dengan menghidupkan api kelik sari yang disebut dengan prosesi mabiasa, kemudian barulah prosesi Nanda berlangsung. Prosesi Nanda dilakukan oleh beberapa pemangku dan diikuti oleh masyarakat, berlangsung di halaman utama pura. Masyarakat akan duduk menghadap ke timur dan utara, sedangkan mangku-mangku yang bertugas menarikan tedung (pajeng) tanda (payung/panji/pataka) bersiap-siap dihadapan masyarakat. Pamangku yang menarikan tedung tanda secara berpasangan dan bergantian adalah Pemangku Prajapati dengan Pemangku Ratu Gede (barong), Pemangku Pangrurah dengan Pamangku Pamayun, dan Pamangku Ngurah Sambangan dengan Pamangku Kahyangan. Setiap pasangan yang selesai menarikan tedung tanda di akhir tariannya menarikan tedung tanda di atas kepala masyarakat dengan memutarnya, kemudian Pemangku Beji memercikan tirtha. Prosesi ini dilakukan tiga kali oleh masing-masing pasangan pamangku tadi. Setelah prosesi Nanda, ritual dilanjutkan dengan kincang-kincung yaitu tarian mangku dengan sarana keris dan tombak berkeliling di halaman utama mandala pura, setelah itu prosesi terakhir adalah prosesi nyomya dengan mempersembahkan minuman arak-brem di halaman pura. Tedung tanda oleh sebab itu memiliki posisi sentral dalam prosesi Nanda, sebagai instrumen pokok prosesi ritual Nanda sekaligus simbol kebesaran penguasa, tedung tanda juga berarti panji-panji pasukan atau pataka dengan ciri khusus, hal ini berdasar pada hanya tedung tanda yang dihias dengan janur yang masih segar. Nanda pada Beberapa Desa Adat Lainnya Prosesi Nanda atau Tari Tanda juga dilaksanakan di luar Pura Agung Petilan Kesiman dan Pura Dalem Penataran Taman Pohmanis, seperti di Desa Adat Sumerta, Tambawu, Penatih, Bekul, Penatih Puri, Laplap, dan Anggabaya, serta tidak menutup kemungkinan wilayah-wilayah di sekitarnya yang masih terkena pengaruh tradisi Kesiman. Mengapa disebut dengan terkena tradisi Kesiman, oleh sebab sampai saat ini ritual besar pangilen yang lengkap ditemui di Pura Agung Petilan Kesiman bertempat di tengah-tengah wilayah Kesiman, dan prosesi Nanda atau Tari Tanda yang khusus ditemukan pula di Pura Agung Petilan, sehingga kemungkinan Pura Agung Petilan sebagai sentral dari upacara-upacara dari wilayah-wilayah yang ada di sekitarnya, terlebih lagi pada masa lampau wilayah-wilayah yang ada diantara wilayah Desa Kesiman merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Kesiman sendiri.
3. Fungsi dan Nilai Sosial Nanda di Masyarakat
Nanda sebagai tarian sacral pada upacara Ngilen pada beberapa Desa Adat di wilayah Kecamatan Denpasar Timur jika diamaati memiliki fungsi dan nilai-nilai sosial bagi masyarakatnya, yaitu: - Nanda Sebagai sebuah tarian yang berkaitan dengan pemujaan terhadap Ludra (Siwa). Kata Nanda berasal dari kata Tandava dalam bahasa Sanskerta, yang merupakan tarian yang diciptakan oleh Ludra (Siwa), dan kata Tanda sebagaiistilah lain untuk penyebutan Dewa Ludra yaitu Hyang Geni, Hyang Sala, Hyang Tanda dan HyangLudra. Dari penjelasan tersebut maka dapat diemengerti bahwa Nanda atau Tari Tanda merupakan wujud sembah atau penghormatan kepada Ludra (Siwa). - Nanda atau tarian Tanda sebagai bagian dari pangilen-ilen yang menunjukan struktur tatanan dewa-dewa lokal yang dipuja. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian lainya mengenai ”Nanda” yang berasal dari kata tanda yang merupakan suatu yang berkaitan dengan pataka, dan juga berkaitan dengan suatu pangkat setingkat lurah dalam kata tanda-mantri. Selain itu bhusana khas yang digunakan yang disebut dengan istilah pangrangsuk, serta tata linggih dalam prosesi pangilen terkait tahapan Nanda di dalamnya, menunjukan bahwa tatanan khas mengenai struktur dewa-dewa yang dipuja, diperumpamakan bagaikan sebuah struktur kerajaan, terlihat dari tatanan umum seperti Ratu Agung atau Ratu Susunan, Pamahyun dan Pamade, palamakan, sedan, Pangrurah, dan dengan berbagai sebutanya, itu semua menunjukan bahwa prosesi ”Nanda” atau tari tanda secara jelas menunjukan sistem tatanan dewa-dewa yang diwarisi sebagai sebuah kearifan lokal oleh masyarakat di sekitar wilayah tersebut hingga saat ini. - Nanda sebagai sebuah bagian dari prosesi pangilen atau sebagai sebuah tari sakral yang memiliki fungsi untuk membersihkan alam beserta isinya secara spirit. Hal tersebut terlihat dari penyebutan Nanda pada saat rangkaian upacara pangebekan di Pura Agung petilan yang juga disebut dengan Nanda Masesapuh pada saat tanda ditarikan di areal utama mandala pura. Masesapuh berarti melaksanakan pembersihan, kemudian hiasan janur yang dihibas-hibaskan termasuk diatas para sedan atau pamangku istri merupakan gerak yang mencirikan pembersihan alam, sejenis pangelisan agung, pangelisan yang juga berarti pembersihan. Sebagai harapan penciptaan serta kesejahteraan atau kemakmuran. Bentuk Tanda yang digunakan mencirikan Lingga-yoni, batang tanda sebagai lingga dan ujung tanda yang berbentuk seperti payung sebagai yoni, penyatuan Lingga-Yoni akan menyebabkan sebuah penciptaan, nampak dari hiasan janur yang juga disebut dengan sinom, hal tersebut merupakan harapan dari masyarakat agar alam beserta isinya setelah dibersihkan mampu menciptakan kesejahteraan baginya.