Gambuh Pedungan Di Desa Pedungan, tepatnya di Banjar Puseh dan Banjar Menesa, gambuh tidak dipentaskan setiap hari. Alasannya, di Pedungan gambuh sangat disakralkan. Namun demikian, selalu ada perkecualian untuk gambuh ini. Bila ada permintaan dari desa tetangga misalnya, dimohon masolah pada odalan di Pura tertentu, atau dimohon hadir (dipendak) sebagai pertunjukan wali (tarian upacara) dalam upacara-upacara khusus di desa-desa atau di pura-pura tertentu di seputar Denpasar. Yang rutin berjalan di Pedungan, setiap odalan di Pura Puseh Pedungan, tepatnya saat hari suci Tumpek Wayang (setiap 6 bulan sekali) gambuh selalu digelar sebagai pertunjukkan sakral upacara odalan di Pura Puseh Pedungan. Biasanya tiga hari setelah odalan di Pura Puseh Pedungan berjalan gambuh kemudian dipentaskan sebagai renteten upacara di Pura Puseh. Namun demikian, seluruh gelung atau mahkota gambuh itu dituur (dimohon turun) untuk dilinggihkan (distanakan) pada saat piodalan pula. Prosesi ini kerap disebut sebagai prosesi nglinggihang (menstanakan) Bhatara Taksu. Baru kemudian, setelah tiga hari piodalan di Pura Puseh berjalan, gambuh di Pedungan dipentaskan secara khusus. Para penari, tua dan muda datang. Pertama-tama mereka memohon supaya pegelaran benar-benar diberkahi Bathara-Bathari di Pura Puseh. Para pragina, penabuh memohon kehadapan Bhatara Taksu supaya mereka selalu dalam tuntunan dewa penguasa keindahan. Musik iringan gamelan pagambuhan merupakan seperangkat gamelan untuk mengiringi dramatari gambuh yang memiliki isntrumen dengan jumlah terbanyak dari jenis-jenis gamelan untuk iringan tari-tarian Bali. Sebagaimana dijabarkan Prof. Dr. I Wayan Dibia (1999), instrumen dari gamelan gambuh terdiri dari: beberapa buah suling besar, satu atau dua buah rebab, sepasang kendang kecil, sebuah kempur, kajar, klenang, kenyir, sepasang gumanak, sepangkon ricik, satungguh kangsi, dan sebuah gentorang. Adapun gending-gending yang dimainkan antara lain: Tabuh Gari (untuk pembukaan), Subandar (untuk mengiringi condong), Sumambang (untuk Kakan-kakan dan putri), Sekar Gadung (untuk iringan Arya), Bapang Gede (untuk iringan Demang dan Tumenggung), Sumerdasa, Lengker, Bapang Selisir (untuk Panji), Bapang (untuk Penasar), Biakalang (untuk Prabu), dan Bebatelan (untuk mengiringi adegan perang). Mengenai gerak penari ketika dipentaskan pada setiap tokoh memiliki gerakan yang sangat khas, sesuai karakter atau perwatakan tokoh bersangkutan seperti: - Mungkah Lawang: gerakan tari membuka langse (tabir) sebagai awal dari suatu tarian. Gerakan ini juga merupakan penanda bila pun panggung pegelaran tanpa menyertakan langse. - Ngeseh: gerakan sendi untuk mengubungkan agem kanan ke agem kiri. - Nayog: gerakan berjalan disertai ayunan tangan yang difokuskan pada siku, dengan arah gerakan datar ke samping, kanan dan kiri secara bergantian baik lengan kiri maupun lengan kanan. - Nyambir: gerakan membawa saput dengan mengambil ujung sisi bawah saput sebelah kanan dengan tangan kiri dan tangan kanan jarak datar kurang-lebih 30 cm diangkat bersama-sama setinggi dada. - Milpil: langkah kaki dimana volume gerakannya dibuat lebih kecil dan ketat sesuai karakter tokoh. - Tayung Ngotes: gerakan berjalan ke depan atau dengan cepat disertai ayunan kedua lengan sirama pijakan kaki. - Gulu Wangsul: gerakan yang difokuskan pada leher dengan menggeser seluruh bagian muka ke kanan maupun ke kiri sesuai tempo gamelan (musik) pengiring. - Ulap-Ulap: gerakan kedua tangan yang dilambaikan ke depan muka seperti orang melihat sesuatu yang jauh. - Tetanganan: gerakan tangan yang dilakukan pada saat terjadinya dialog sebagai gerakan isyarat. - Nabdab Karna: gerakan tangan dengan menyentuh telinga bagian atas sesuai watak tari. - Nabdab Gelung: gerakan satu atau kedua tangan meraba hiasan kepala atau mahkota sesuai watak atau karakter. - Buta Ngawasari: merupakan posisi berdiri, bertumpu pada kaki kiri yang ditekuk, sehingga badan sedikit merendah, sedangkan kaki kanan diangkat setinggi lutut dan tangan kanan berada diatasnya. Sementara tangan kiri berada di atas kepala. - Sledet Capung: gerakan menoleh ke kanan maupun ke kiri dimana mata dan muka selalu seiring, sehingga tercipta kekhasan gerak. - Gelatik Nuut Papah: gerakan yang meniru gerakan burung gelatik tengah melompat-lompat di pelepah pohon kelapa. - Ngalih Pajeng: gerakan mencari payung atau pajeng yang ada di sebuah stage atau kalangan. Mengenai struktur pertunjukan diawali dengan sajian tabuh pategak, diantar dengan iringan tabuh Gari. Bagian kedua, merupakan inti dari pegelaran, yang juga dibagi menjadi empat adegan utama, meliputi papeson putri, papeson panji, papeson prabu, dan pasiat. Bagian ketiga, lazim disebut panyuud, dimana seluruh rangkaian dramatik dari lakon yang dipentaskan telah usai. Artinya pegelaran gambuh telah berakhir, ditandai dengan seluruh pemain atau pragina berkumpul, berjejer di stage atau kalangan. Struktur pertunjukan tersebut dibagi menjadi beberapa adegan seperti: Adegan Panji - Kade-kadean keluar menari diiringi dengan gending Lengker Gede. Terakhir Kade-kadean nikeh (duduk) di panggung depan. - Panji keluar dengan tari ngugal (gending Semarandana) diiringi Semar dan Turas. - Patangkilan Kade-kadean, kemudian dilanjutkan dengan adegan-adengan sesuai dengan lakon yang dipentaskan. Terakhir semua masuk. Adegan Prabu Keras - Demang dan Tumenggung keluar menari diiringi gending Bapang Gede. - Patih Manis keluar menghadap Demang dan Tumenggung kemudian masuk. Demang dan Tumenggung melanjutkan tariannya, kemudian duduk di panggung depan. - Arya Keluar menari diiringi gending Sekar Gadung. Terakhir Arya duduk di panggung depan. - Patih Manis menari dengan tarian ngugal (gending Tunjur). Terakhir duduk di panggung depan. - Prabu keras keluar dengan tari ngugal (gending Godek Miring atau Jaran Sirig) diiringi Semar dan Turas. Patih manis bangun mengadap Prabu keras. - Patangkilan Patih manis, Arya dan Demang Tumenggung, dilanjutkan dengan adengan-adegan seperti pertemuan, pasiat (peperangan) sesuai lakon yang dipentaskan. Adegan Prabu Manis Pepesonnya sama dengan adegan Panji (gending disesuaikan menurut tokoh yang dibawakan, diiringi Semar dan Turas. Sedangkan adegan yang mempergunakan tokoh Angga Dibya hanya keluar dengan nekin. Adegan Prabangsa - Jebung keluar menari dengan dua orang Potet diiringi gending Biakalang. Prabangsa keluar menari dengan tari ngugal diiringi dua orang Potet yang lain. Terakhir semua masuk. - Adegan berikutnya disesuaikan dengan lakon yang dipergunakan.
Sesaji dalam pementasan Gambuh Pedungan dapat dikaitkan dengan proses upacara yang biasa masyarakat laksanakan, yaitu upacara biasa (setiap enam bulan sekali) tepatnya pada hari sabtu tumpek wayang dan upacara besar/nadi (setiap satu tahun sekali) yang juga jatuh pada hari sabtu tumpek wayang. Sesaji yang digunakan ketika upacara biasa setiap enam bulan sekali adalah udel kuren, sedangkan jika upacara besar/nadi menggunakan sesaji caru panca sata megodel. 6. Fungsi dan Nilai Sosial Gambuh Pedungan di Masyarakat Kehadiran dramatari gambuh di Pedungan memiliki fungsi baik dalam konteks sosial maupun dalam konteks religius. Secara sosial gambuh di Pedungan menjadi sendi-sendi penguat kehidupan masyarakat. Kehadiran gambuh mengikat masyarakat untuk senantiasa bersatu, ikut mengambil tanggung jawab bersama dalam urusan-urusan bersama kehidupan di desa. gambuhlah yang memperkuat keyakinan masyarakat untuk bersatu padu mengambil tanggung jawab sosial, dalam kehidupan bersama, dalam suka-duka hidup berdesa. Gambuh pula memperkuat rasa persaudaran, yang diikat dalam tata krama kehidupan desa. Gambuh menitipkan tanggung jawab tradisi pada generasi di Pedungan, bahwa apa yang mereka warisi kini harus dirawat, dilestarikan dengan penuh tanggung jawab. Ini adalah sebentuk tanggung jawab kultural, penopang hidup kebudayaan dan kesenian mereka, penopang persatuan dan persaudaraan mereka. Orang-orang di Pedungan memahami gambuh sebagai ""tunggul desa"", artinya monumen makna yang selalu memanggil mereka untuk tetap bersaudara, memuja dewa-dewa serta melakukan kewajiban hidup sehari-hari, merawat kebudayaan dan kesenian desa. Namun adakalanya gambuh di Pedungan memberi keyakinan dan daya hidup baru bagi masyarakat yang kebetulan ditimpa kemalangan, rasa sakit, dan penderitaan. Misalnya selalu ada yang dipulihkan keyakinannya, dipulihkan kekuatan jiwanya, dijauhkan dari rasa sakit setelah orang-orang di Pedungan dengan segenap keyakinan dipulihkan kesehatan mereka, dipulihkan kekuatan jiwa mereka berkat ""sesangi"" atau kaul yang ditujukan pada Batara Taksu Ratu Made di Pura Puseh Pedungan. Memang setelah mereka sembuh atau pulih dari penyakit orang-orang di Pedungan tak lupa membayar kaul itu dengan menggelar pegelaran dramatari gambuh. Inilah yang membuat gambuh di Pedungan terus hidup, karena diyakini masyarakat di Pedungan memberi nyala baru bagi masyarakat yang ditimpa keletihan, penyakit, keterpurukan, dan lain-lain. Itulah makna sesungguhnya dramatari gambuh bagi masyarakat di Desa Pedungan. Kendati kehidupan mereka tidak lagi dalam kultur masyarakat agraris, gambuh tetap menyambungkan tali batin masyarakat untuk senantiasa ingat pada Sang Maha Pencipta.