Ngamandian Ucing adalah sebuah ritual kesuburan yang ditradisikan menjadi ritus buhun oleh masyarakat kampung Nyenang. Penggagasnya adalah Nyimas Kubang Karancang sebagai leluhur masyarakat kampung Nyenang yang katanya keturunan Prabu Siliwangi. Penggunaan kata Nyenang berarti Nyi Mas Kubang Karancang senang/bahagia terhadap kampung tersebut. Konsep penamaan kampung Nyenang menurut masyarakatnya mengambil dari tradisi lisan, yang menggambarkan kondisi Nyimas Kubang Karancang yang sedang gundah menjadi senang tatkala berenang di sungai Leuwi Panjang dan memandang keindahan alam di kampung Nyenang.
Pelaksaan ritual Ngamandian Ucing telah ada sejak zaman dulu. Terdapat dokumen yang mencatat tentang hal ini, yaitu catatan yang mengungkapkan tentang masa revolusi perang kemerdekaan di bawah kepemimpinan lurah Jayadinata Desa Nyenang pada tahun 1945-1947. Pemerintah desa dan masyarakat Nyenang telah melestarikan dan memelihara tradisi ritual Ngamandian Ucing yang telah ada sebelum tahun 1945. Keberadaan ritual Ngamandian Ucing ditunjukan dengan adanya penyebutan beberapa artefak ini dalam puisi tentang tempat pemandian Nyimas Kubang Karancang. Artefak dimaksud antara lain: situs budaya Muara bojong; Batu Tumpang (sedang proses pendaftaran menjadi cagar budaya); Walungan Leuwi Panjang; Keramat Nyimas Kubang Karancang serta Pancoran Cai.
Mengenai hewan kucing yang digunakan sebagai media ritual Ngamandian Ucing karena kucing dipercaya sebagai hewan yang diagungkan. Selain mitos kucing sebagai hewan yang mampu menghalau mahkluk halus yang jahat, bagi bangsa Mesir kucing adalah hewan yang paling berjasa. Ada artefak budaya yang menyebutkan kata ucing yaitu pantun buhun Sunda yang berjudul Panggung Karaton.
Teradapat makna yang sifatnya konotasi berupa unsur-unsur simbol bahwa sisir serit tanduk ucing adalah simbol dunia bawah yang jamak, sedangkan sisir badag tanduk kuda adalah simbol dunia atas yang tunggal. Makna tanduk mengungkapkan arti menunjuk, dalam hal ini makna tanduk kucing menunjuk pada manusia yang kecil, sedangkan tanduk kuda menunjuk dunia langit yang sangat besar tempat bersemayamnya Sang Maha Pencipta.
Konsep filosofi dari simbol tanduk kucing yang mengasosiasikan sebagai dunia manusia, ada kemungkinan merupakan relevansi maksud dari amanat leluhur bahwa Ngamandian Ucing bukanlah tata cara memandikan kucing tapi lebih menjangkau makna yang lebih luas, yaitu; prosesi berdoa berjamaah kepada yang bertahta di atas (tanduk kuda) Sang Maha Pencipta.
Adapun Ritual Ngamandian Ucing terdiri atas 3 tahapan yaitu, persiapan, pelaksanaan dan akhir pelaksanan. Pada tahapan pertama yaitu tahapan persiapan, dilakukan berbagai persiapan antara lain: Memperhatikan tanda-tanda alam, oleh pemangku adat di kampung Nyenang; Penentuan waktu pelaksanan Ritual Ngamandian Ucing; Mempersiapkan tempat 112 yang tidak lain adalah sungai Muara Bojong; Penyedian tumpeng teri, merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu berdasarkan pranata yang berlaku; Penyediaan panayogean, yaitu potongan pohon bambu tali sepanjang 180 cm yang akan digunakan sebagai media untuk mengukur waktu kapan akan turun hujan; Mempersiapkan sasajen; Menyediakan kucing yang disimpan dalam kurungan dari anyaman bambu lalu dipikul menggunakan rancatan dan diarak ke tempat ritual; mempersiapkan musik reog buhun, seni musik yang umum dihadirkan dalam sebuah acara ritual.
Tahapan kedua yaitu tahapan pelaksanaan, yang terdiri atas kegiatan sebagai berikut, antara lain: Masyarakat dan pemangku adat berkumpul di lapangan kampung Nyenang, semua sarana dan prasarana dipegang oleh para peserta ritual; rombongan arak-arakan sampai ke sungai leuwi panjang dan menata tempat untuk menyajikan tumpeng dari masyarakat; Ngadeupa, mengukur bambu panayogean oleh tangan pemangku adat dengan merentangkan ujung jari tengah tangan kanan dan tangan kiri. Tahapan ketiga yaitu tahapan akhir pelaksanaan. Setelah selesai ritual dan doa leluhur dipanjatkan, masyarakat membawa kucing ke aliran sungai Muara Bojong untuk dimandikan dalam Ritual Ngamandian Ucing sebagai syarat yang terungkap dari amanat leluhur.
Ritual Ngamandian Ucing mengandung makna komunikasi transendental yang berdimensi mistis, menunjukan masyarakat Kampung Nyenang masih menganut kepercayaan yang bersifat mistis terhadap adanya roh-roh leluhur yang selalu mendampingi segala aktivitas manusia yang masih hidup. Berdasarkan analisis komunikasi transendental dalam dimensi ontologis, melalui ritual ini ditemukan adanya konsep-konsep budaya leluhur Sunda yang cenderung untuk bermain siloka (simbol) bila mengekspresikan aktivitas budayanya. Komunikasi Transendental Ritual Ngamandian Ucing dalam dimensi mistis dan dimensi ontologis keduanya mengacu pada hubungan harmoni manusia dengan Sang Maha Pencipta. Dari segi fungsi sosial, ritual ini masih memegang teguh nilai-nilai kegotong-royongan di masyarakat Kampung Nyenang. Hal ini terlihat dari penyajian tumpeng yang disediakan untuk dinikmati bersama-sama oleh masyarakat yang menghadiri ritual. Selain itu, terdapat pula fungsi edukasi yang tercermin dari ritual ini yaitu pendidikan tentang menghormati jasa-jasa yang telah dilakukan oleh leluhur yang diwujudkan dengan menjalankan amanatnya.