Sejarah Okol berasal ratusan tahun yang lalu (kisaran tahun 1817an) dimana saat itu Desa Setro dilanda musim kemarau panjang sehingga ladang petani menjadi kering dan tumbuhan banyak yang mati, bahkan hewan ternak pun kesulitan mencari makan. Kemudian pemimpin desa mengadakan doa bersama supaya turun hujan. Beberapa hari kemudian hujan datang, warga desa senang sekali bisa kembali bercocok tanam karena ladang mereka tidak kering lagi dan lahan pertanian merekapun subur dengan hasil yang sangat memuaskan. Pada saat panen tiba, warga mengadakan syukuran / selamatan dan secara spontan karena rasa gembira, para gembala saling berpelukan dan mendorong (nyrokol / srokol-srokolan / sruduk-srudukan, dalam bahasa Jawa) di atas jerami / damen hasil panen itu dengan maksud meluapkan kegembiraan atas hasil panen yang melimpah ruah dan bersyukur kepada Tuhan YME atas segala karunia tersebut. Kata srokol-srokolan atau nyrokol tersebut lebih dikenal warga dengan sebutan Okol. Dan warga Desa Setro menjadikannya sebagai tradisi hingga sekarang. Pelaksanaan Okol pada jaman dahulu dengan sekarang tentunya berbeda. Pertandingan okol jaman dahulu bebas dan tidak berpaku pada aturan apapun asalkan tidak saling melukai satu sama lain. Dulu Okol hanya boleh dilakukan khusus oleh orang dewasa, tetapi sekarang pertandingan ini mulai dikenalkan kepada generasi muda supaya tradisi yang sudah ada tidak mengalami kepunahan. Kegiatan ini tidak hanya didominasi kalum laki-laki dewasa tapi juga anak-anak dan ibu-ibu ambil bagian dalam pertandingan ini setiap tahunnya. Dulu pertandingan pun tidak dilaksanakan di panggung, hanya di atas tumpukan jerami. Sekarang tempat bertanding dibuatkan panggung namun tidak menghilangkan tumpukan jerami sebagai ciri khas. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan penonton yang semakin banyak untuk bisa melihat tanpa berdesak-desakan.