a. SEJARAH
Kesenian Cingpoling diperkirakan muncul pada masa penjajahan Belanda sejak abad XVII di Desa Kesawen Kecamatan Pituruh Kabupaten Purworejo. Pada saat itu Desa Kesawen Kecamatan Pituruh masuk dalam wilayah Kadipaten Karangduwur.
Kesenian ini merupakan penggambaran prajurit Demang yang memerintah wilayah Kesawen (kala itu pemerintahan belum dipimpin oleh lurah atau kepala desa), yang saat itu sedang melakukan pisowanan. Dalam pisowanan tersebut Demang Kesawen membawa upeti yang hendak diserahkan ke Adipati Kadipaten Karangduwur dengan dikawal oleh 3 (tiga) orang prajuritnya yang bernama Krincing, Dipomenggolo, dan Keling.
Sambil menunggu acara pisowanan dimulai, Demang Kesawen bersama 3 (tiga) prajuritnya melakukan latihan beladiri di lapangan Kadipaten. Ketika mereka sedang asyik berlatih beladiri, diketahui oleh Adipati Karangduwur, rupanya beliau tidak berkenan jika Demang Kesawen dan anak buahnya melakukan latihan beladiri di alun-alun Karangduwur. Untuk itu, Adipati memperingatkan kepada Demang Kesawen dan anak buahnya, agar tidak mengulangi kegiatan serupa lagi di masa yang akan datang.
Walaupun telah ditegur oleh Adipati Karangduwur, ternyata Demang Kesawen tidak jera. Pada pisowanan yang akan datang dia berkeinginan untuk kembali melakukan kegiatan latihan beladiri di alun-alun kawedanan. Untuk itu dia mengajak musyawarah dua orang kepercayaannya yaitu Jagabaya dan Komprang.
Kemudian Komprang mengusulkan utnuk melakukan penyamaran agar identitas ketiga orang yang dulu menimbulkan masalah tidak terbongkar. Oleh karena itu perlu disiapkan tatanan gerak meniru jogetan/tari dari semua penderek Ki Demang. Komprang sebagai sutradara, 4 (empat) orang sebagai pemukul bunyi-bunyian, 1 (satu) orang sebagai kemendir/pemayung, 2 (dua) orang sebagai pemencak, lainnya sebagai pengombyong. Dengan demikian ciri dari Dipomenggolo yang ada uci-uci/benjolan di dahi, Krincing yang mempunyai pusar bodong/sedikit menonjol dan Keling yang mempunyai belang di betis akibat penyakit kulit, tertutup melalui busana dan gerak tari.
Akhirnya terbentuklah tim yang terdiri dari para prajurit kademangan. Dari 3 (tiga) nama tokoh prajurit Krincing, Dipomenggolo, dan Keling inilah nama kesenian ini berasal menjadi Cingpoling.
b. TUJUAN KEGIATAN
Seni Cingpoling dahulu kala adalah sebagai penyamaran gladi keprajuritan dari para pengawal Demang Kesawen saat melakukan Pisowanan dalam bentuk tarian. Pada perkembangannya saat ini bergeser fungsinya yaitu murni untuk hiburan dan pertunjukan yang disesuaikan dengan perkembangan jaman.
c. WAKTU PELAKSANAAN
- sebagai Tari Welcome Dance pada obyek wisata Desa Kesawen dan Penyambutan Tamu Desa Kesawen Kecamatan Pituruh
- pada acara Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia dengan mengikuti pawai karnaval Agustusan
- pada acara Pawai peserta Khotmil Al Quran
- pada saat acara hajatan warga
- pada saat Pementasan kesenian di Alun-alun Purworejo
- pada saat acara Jamasan Tosan Aji Kabupaten Purworejo sebagai kesenian kirab Pusaka.
d. LOKASI PELAKSANAAN
Kesenian Cingpoling dilaksanakan di luar ruangan tepatnya di sepanjang jalan sebagai tarian pengiring.
e. PESERTA
Personil Cingpoling terdiri dari 9 orang. Ini jumlah minimal yang harus dipenuhi dengan rincian: 1 (satu) orang sebagai kemendir/pembawa payung, 2 (dua) orang sebagai pemencak, 2 (dua) orang sebagai pengiring, 2 (dua) orang sebagai penabuh ketipung, 2 (dua) orang sebagai penabug kecrek.
Dalam perkembangannya saat ini pesertanya bisa mencapai 17 orang dengan tujuan dapat saling menggantikan posisi inti yang berjumlah 9 orang tersebut.
f. POLA GERAKAN
Ragam gerak pada kesenian Cingpoling dilakukan berulang-ulang, karena pada dasarnya ini bukan sebuah tarian, namun penyamaran gerak seorang prajurit. Adapun urutan geraknya sebagai berikut: cakrak, ujung, titenan, gambul, dugangan, kitrangan, jajagan, adon-adon, gebragan, genjotan, limpen dan teteran.
g. KELENGKAPAN
Kostum dan Alat terdiri dari:
1. Tutup kepala:
a. Bentuk Pacul Gowang untuk Kemendir atau Pemencak.
b. Iket corak wulung untuk pemain lain.
2. Baju: baju berwarna hitam dengan corak dan asesoris seperti serdadu Belanda khusus untuk Kemendir dan Pemencak. Busana anggota lain beskap motif lurik model Yogyakarta.
3. Alas kaki: sandal khusus bertali atau sepatu disesuaikan dengan tempat tampil.
4. Asesoris: kacamata hitam, sampur, keris.
5. Alat:
a. Bendera atau panji-panji yang tiangnya berupa penyamaran untuk membawa tombak sebagai alat pengamanan.
b. Kecer 2 buah yang pada awalnya berupa senjata lempar dan pinggir kecer bergerigi runcing.
c. Terompet adalah alat penyamaran senjata tulup/paser.
d. Pedang tidak tersamarkan.
e. Alat musik: kendang bunting, bendhe, kecer, dan terompet. Pada perkembangannya divariasi dengan bass drum.
f. Alat lain berupa: bokor, lilin piring yang pada masa awal perkembangan digunakan untuk tempat sesaji.