Santiswara mempunyai arti doa (santi) dengan senandung lagu atau suara (swara). Larasmadya berarti irama (laras) yang bersahaja (madya), dengan demikian Santiswara Larasmadya mempunyai arti sebagai doa yang dilantunkan dalam senandung lagu dalam irama yang bersahaja. Bersahaja dalam hal ini mengacu pada kesederhaan penyajiannya. Berbeda dengan sajian seni karawitan pada umumnya yang memakai beragam jenis gamelan lengkap, Santiswara Larasmadya hanya menggunakan tiga instrument dasar sebagai pengiring tetembangannya, yaitu Kemanak, Trebang dan Kendang. Kadang dalam pementasan tertentu digunakan juga gamelan sejenis Slenthem, Gender dan Gong sebagai variasi semata. Kesenian ini muncul di era pemerintahan Paku Buwana ke-V disekitar abad ke 17-18 Masehi. Sejarah awal kesenian Santiswara terdokumntasikan dalam Serat Wedhapradangga karya R.Ng. Pradjapangrawit yang berisi tentang sejarah gamelan dan Gendhing-gending Jawa. Penambahan jenis tetembangan Larasmadya muncul pada saat pemerintahan Paku Buwana ke-X. Baik Santiswara maupun Larasmadya tidak ada perbedaan dalam segi irama diantara keduanya. Yang membedakan yaitu, dalam Santiswara teks tetembangan menggunakan syair-syair Sholawat, sedangkan tembang dalam Larasmadya diambil dari teks Macapat sepeti Pocung, Mijil, Gambuh, Kinanthi, Dhandhangula, dll. Dalam pementasannya, baik Santiswara maupun Larasmadya dipentaskan tanpa ada pemilahan tertentu, oleh karena itu kesenian ini pun mempunyai satu penyebutan tunggal yaitu Santiswara Larasmadya.
Santiswara Larasmadya berisi untaian syair-syair indah tetembangan Jawa, mengalun dengan khidmat. Syair indah tersebut berisikan doa-doa dan petuah-petuah bijak di jalan agama. Nada-nada indah mengiring lantunan dari segala sembah dan puji bagi keagungan Allah, serta Sholawat bagi Sang Nabi Muhammad. Senandung doa-doa tersebut, berpadu secara harmonis dengan seperangat kecil gamelan yang terdiri dari Kemanak, Kendang dan Trebang. Denting ritmis suara Kemanak yang menggema pelan bersaut-sautan dengan suara rancak dari alat musik Trebang, sementara itu Kendang hadir menyisip diantara jeda suara Kemanak dan Trebang sebagai pengatur tempo serta tekanan. Gabungan dari ketiga alat musik tersebut memberikan nuansa yang hening, sakral dan magis. Ketika dipadukan dengan lantunan lembut tembang Macapat dengan syair-syair yang bertemakan religi, Santiswara Larasmadya tidak hanya sekedar indah untuk dinikmati, namun mampu menghadirkan suasana meditatif yang menyejukkan hati pendengarnya. Saat ini Santiswara Larasmadya tidak hanya didominasi oleh doa-doa dalam agama Islam, tetapi juga sudah dimainkan di gereja-gereja, dengan tujuan yang sama, mengalunkan doa-doa dalam lantunan tetembangan Jawa untuk memuji keagungan Tuhan.
Mengajar tanpa menggurui itulah makna yang dapat diresapi dari kesenian Santiswara Larasmadya. Dengan dikemas dalam tembang-tembang indah dan diiringi alunan merdu gamelan yang menggema dengan khidmat, kesenian ini mampu menarik orang agar menyimak pesan-pesan religi yang dibawakannya dengan tanpa terpaksa. Melalui ketenangan, keindahan, keselarasan dan harmonisasi yang tercipta dari Santiswara Larasmadya, kesenian ini mengkondisikan kejernihan hati dari pendengarnya sebagai kondisi awal yang dibutuhkan oleh jiwa agar mampu meresapi pesan-pesan mulia dari ajaran agama. Sebagaimana pesan moral tentang kebaikan yang berlaku universal, keindahan musik juga mempunyai nilai universal bagi semua kalangan, sehingga sajian Santiswara Larasmadya mampu menembus sekat-sekat perbedaan dan bisa diterima oleh semua orang. Santiswara Larasmadya juga merupakan sarana yang tepat agar nilai-nilai mulia dalam agama dapat disebarluaskan, dibagikan kepada sesama dengan cara-cara yang indah pula.