Sejarah
Hik, wedangan atau angkringan telah lama menjadi penanda kota Solo yang tidak boleh dipandang remeh. Hik berikut gerobak dan sajian makanan ala kampung ikut mewarnai dan ambil bagian dalam gerak sejarah sosial masyarakat perkotaan. Di Solo sendiri dinamika dan kondisi sosiokultur masyarakatnya menentukan corak kekhasan tersendiri, masyarakat Solo dikenal punya hobi nglaras (bersantai ria) dan senang jagongan (ngobrol kesana kemari). Malam hari tidak lantas menjadi waktu untuk istirahat penuh, untuk memulihkan tenaga selepas bekerja seharian penuh, biasanya masyarakat Solo memanfaatkan malam hari sebagai waktu untuk begadang dan bersendau gurau (jagongan ngalor ngidul diskusi omong kosong).
Kota Solo pada tahun 1902 mulai dialiri listrik, malam hari mulai berubah menjadi terang, banyak bermunculan pertunjukan layar tancap di alun-alun, gedung bioskop di taman Kebonrojo atau Sriwedari, dan lain-lain. Pada masa itulah orang-orang mulai berbondong-bondong datang ke Solo layaknya urbanisasi, akan tetapi Solo tampak unik lantaran model urbanisasinya varian. Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran menawarkan jenis urbanisasi tradisional, membuka lowongan abdi dalem lewat proses magang. Kemudian, institusi pemerintah Belanda mempengaruhi jenis urbanisasi kolonial, mengiming-imingi keluarga priyayi menjadi pegawai birokrasi profesional asalkan mengenyam bangku sekolah Eropa. Dan perusahaan industri batik, pertokoan Tionghoa serta pasar tradisional mencuri perhatian kelas bawah untuk mendaftarkan diri sebagai buruh, sehingga terciptalah model urbanisasi modern di sektor informal.
Peluang mengais rejeki yang bertebaran di waktu malam, dilirik oleh kalangan wong cilik kelas yang kurang beruntung di dunia pendidikan dan tak berjejaring dengan kelompok bangsawan. Mereka rata-rata berasal dari pinggiran wilayah Surakarta khususnya Klaten, untuk mencoba peruntungan dengan menjajakan makanan ringan. Melayani kebutuhan perut penghuni kota yang melilit sepulang menikmati pertunjukan tengah malam, atau sekedar melayani masyarakat yang gemar bepergian di malam hari.
Pada waktu itu makanan masih dipikul, tidak seperti sekarang ini yang ditaruh di atas gerobak. Untuk menjaring pembeli sebanyak mungkin, bakul (penjual) hik berhenti di titik-titik keramaian seperti di taman Sriwedari dan Pasar Pon. Kedua lokasi tersebut merupakan arena hiburan yang tidak pernah sepi pengunjung (pada waktu itu).