Nama Wayang Othok Obrol diambil dari sejarah, karena saat itu Ki Ganda Wiragaru saat purna lurah prajurit dari kerajaan mataram mengembang wayang di daerah Traji, sementara di daerah Traji mayoritas petani sehingga pengetahuan seni kurang sehingga Ki Ganda Wiragaru membuat sebuah instrumen yang sederhana akan tetapi karena keterbatasan para petani sehingga ketika latihan sambil bicara, dari ngobrol inilah menjadi nama wayang othok obrol, yang sebenarnya dari kata ngobrol atau dongeng dalam bahasa itu bercerita.
Di Selokromo wayang othok obrol biasa di lakukan/ditampilkan pada saat merdideso-merdideso, ruwat bumi atau yang disebut dengan sedekah bumi yang di daerah Yogya disebut rasulan, wayang othok obrol ditampilkan dengan cerita Mekukuan. Cerita mekukukan itu berdoa agar masyarakat desa makmur terutama karana mayoritas petani. Selain itu di desa selokromo ada acara bendung ngelak artinya sumber air, ”ngelak” (tempat bendungnya) yang dilakukan oleh masyarakat desa. Setalah melakukan membendung sungai, namanya sungai Galuh yang dialirkan ke sungai kecil yang airnya mengalir ke Selokromo. Setelah seleseai melakukan bendung, disinilah mengadakan pagelaran wayang othok obrol, dengan cerita Bendung Tambak Situbondo. Disetiap pagelaran dengan cerita berbeda sesuai dengan doa yang diinginkan oleh masyarakat. Misalnya kalau bendung situ bondo diambil dari cerita ketika prajurit ciung wanara dari pancawati membendung samudra hindi untuk sampai ke negeri alengka untuk mengambil kembali Dewi Sinta.
Inti dilakukan pagelaran wayang othok obrol didalam terdapat sebuah doa permohonan kepada yang maha kuasa, agar apa yang diinginkan masyarakat dapat terwujud contoh pada acara ruwat bumi dengan mengucap syukur agar diberi kesuburan tanaman bisa tumbuh dengan baik yang akhirnya hasilnya melimpah yang dalam bahasa jawa ”Ngremboko” yang akhirnya hasilnya bisa dinikmati masyarakat Selokromo.
Pada pagelaran wayang othok obrol sangat sederhana tidak seperti pada pagelaran wayang yang lain, karena mengingat iringannya pun sangat sederhana. 1) Wayang othok obrol tidak mengenal adanya ”Pathet” (pembagian nada dalam sebuah pagelaran), misalnya pada pagelaran wayang Yogya dan Solo dikenal adanya Pahtet 6, pathet songo, pathet menyuro. Dalam pagelaran wayang othok obrol menggunakan satu patet yaitu patet menyuro (nada dasarnya enam).
Peserta dalam pagelaran wayang biasanya ada demung, dua saron untuk imbal, kencer yang menjadi ciri khas wayang othok obrol jika dibunyi seperti alat musik Bali, kemudian ada penambahan blender dan cengkem, ada kempul (gong yang agak kecil) laras tiga, ditambah ketuk dan kenong. Yang menjadi ciri khas dan keanehan di wayang othok obrol ketuknya selendro tatapi kenongnya larasnya pelog. Ketika dibunyikan harusnya tidak pas, tapi di othok obrol ini sebaliknya, menjadi pas dan dinamis sehingga enak didengar.
Dalam pagelaran Wayang othok obrol tidak ada Sinden, karena pada jaman dahulu wayang othok obrol cenderung fokus pada ceritanya sehingga permintaannya itu bisa lebih saklar, meskipun dalam wayang itu harus ada tontonan, tuntunan dan tatanan tetapi dalam wayang othok obrol lebih menitikberatkan pada tuntunan dan tatanan. Sehingga untuk lagu-lagu dan hiburan lainnnya agak dikurangi.
Narasumber menekuni dunia perwayangan sejak kecil karena kesukaan dalam menonton wayang, sampai pada akhirnya karena dalang othok obrol mulai sepuh beliau mengikuti tes pedalangan dan berhasil menggantikan kedudukan dalang di Selokromo sampai sekarang. Syarat dalam melakoni seni ini suka dan senang serta mau belajar, sehingga untuk meneruskan seni wayang ini menurut narasumber ditananamkan dulu kesukaan atau senang dahulu kepada anak-anak, setelah senang baru kita ajarkan.
Tentang Wayang Othok obrol, seperti di kutip dari laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id/ sebagai berikut:
Dalam beberapa dialek bahasa Jawa, frasa uthuk ubrul (/u??? ub?r?l/) banyak digunakan untuk menggambarkan keadaan yang terkesan ‘seadanya’, ‘kurang serius’, atau ‘improvisatif’. Kosakata lain yang senada, nggedabrul, muncul dalam kamus lama Baoesastra Djawa, yang bermakna ‘omong-omongan sinambi gegojègan’ (Poerwadarminta, 1939), serupa dengan kata obrol dalam Bahasa Indonesia. Boleh jadi, baik kata gedabrul, ubrul, maupun obrol, sepakat pada makna ‘ketidakseriusan’ ini, atau lebih eloknya: ‘kesederhanaan’.
Ada pula yang mengatakan bahwa istilah ubrul bersifat onomatopoeic (tiruan bunyi), seperti termuat dalam Platenalbums yang disusun oleh Ir. Moens, dkk. Di dalamnya, tercantum kesenian “barangan topeng moenjoek (gongsa o?oek, obroel)” dan “barangan ringgit kempoel tiga oetawi noek, obroel”, dengan penjelasan “… sabab soewantening gongsa namoeng kapireng noek kalijan broel.” (Moens, 1930). Teori ini diamini oleh Yohanes Wagiyo dalam skripsinya (1991), dengan kata ‘thuk’ mewakili bunyi instrumen kethuk, dan ‘brul’ mewakili bunyi kempul.
Di berbagai tempat, kata uthuk ubrul (atau variannya: uthuk ubruk, othok obrol) diadopsi sebagai nama gamelan sepangkon yang ricikan-nya dipandang kurang lengkap untuk mengiringi kesenian tertentu. Di Rembang dan Ngawi, terdapat tarian Orèk-orèk yang diiringi gamelan Thuk Brul (Gathuk Gabrul). Dari dunia pewayangan, dikenal pula gamelan Uthuk Ubruk (6 ricikan) di Kebumen, Uthuk Ubrul (7 ricikan) di Magelang (Kunst, 1973), dan Othok Obrol di Wonosobo. Ketiganya memiliki kesamaan berupa fungsi iringan wayang, berlaras Sléndro, serta tanpa ricikan melodis rebab dan celempung/siter. Bahkan, Wayang Othok Obrol di Wonosobo tidak dilengkapi waranggana maupun gérong.
Di Wonosobo, kesenian Wayang Othok Obrol /o?ok?ob?rol/ dapat dijumpai di Selokromo, Kec. Leksono. Menurut buku Deskripsi Kesenian Wayang Obrol yang dihimpun oleh Paguyuban Penilik Kebudayaan Kabupaten Wonosobo, kesenian ini berkembang sejak era Sultan Agung di Mataram, dengan dalang Ki Ganda Wiradipa dari Traji (Parakan, Temanggung) sebagai cikal bakalnya. Alur pewarisan kesenian ini tercatat dengan baik hingga Ki Niya Karta Suganda (generasi kelima). Putra angkat Ki Niya, Ki Makim Kartosudarmo, turut mempelajari seni pedhalangan ini dari paman Ki Niya, Ki Arja Pawira.
Berdasarkan cerita turun-temurun, peraga wayang ini lahir secara ajaib di hadapan Sultan Agung di Mataram, ketika Ki Ganda Wiradipa memukul selembar kulit perkamen dengan tongkat gadingnya. Kulit perkamen tersebut pecah berkeping-keping, kemudian berubah menjadi sekotak peraga wayang (130 buah). Peraga inilah yang diyakini menjadi dasar bentuk wayang yang digunakan dalam kesenian Othok Obrol, yakni wayang Kedu. Jika dilihat fisiknya, wayang ini berbeda dari gaya Surakartan dan Ngayogyan, yakni memiliki dedeg yang sedang namun gemuk, serta wayang luruhan-nya memiliki wajah (praèn) yang sangat menunduk. Semua diwarnai dengan pigmen alami, seperti gerusan tulang, jelaga, biji gendhulak, dan sebagainya. Sunggingan byor-nya menggunakan sedikit gradasi warna, sehingga terkesan sederhana.
Sebagai varian dari pakeliran gaya Kedu Wanasaban, iringan Wayang Othok Obrol memiliki ciri gendhing bergaya Kedu, dengan saron yang dimainkan bersahutan (imbal) satu sama lain, khas Wanasaban. Selain itu, denting keprak-nya juga beradu dengan instrumen yang kini jarang ditemui pada gaya lain, yaitu ke(n)cèr. Tak ayal, iringan gamelannya terkesan ramai dan gagah. Beberapa gendingnya bahkan bernama Othok Obrol, menandakan penggunaan yang sifatnya spesifik.
Dalam adegan yang sifatnya khidmat, absennya rebab dan siter membuat komposisi lirihan-nya didominasi instrumen gendèr. Uniknya, alih-alih menggunakan gendèr barung, yang digunakan adalah gendèr panembung (slenthem) dengan teknik glenukan warisan Ki Ganda Wiragaru, putra Ki Wiradipa. Konon, penyederhanaan ini berawal saat Ki Wiragaru merekrut niyaga dari kalangan yang tak terbiasa menabuh gamelan: kaum petani. Perpaduan antara wayang kulit dengan keawaman penabuh inilah yang melahirkan Othok Obrol, genre yang terkesan kurang serius, penuh ‘obrol’, namun tetap nikmat dalam keterbatasannya.
Seperti halnya Wayang Purwa, Wayang Othok Obrol membawakan kisah dari Mahabarata dan Ramayana, serta beberapa lakon carangan seperti Murti Serat, Raja Kèngsi, Andhaliretna, atau judul yang cukup catchy seperti Semar Supit dan Semar Cukur. Wayang Othok Obrol pun memiliki satu tokoh yang tidak dijumpai di gagrag lain, yakni Puthut Mégajéndra. Tokoh ini merupakan murid dari Begawan Abiyasa (kakek para Pandhawa), yang divisualisasikan menggunakan peraga wayang Gathutkaca (putra Bima). Mégajéndra memiliki watak kesatria dan kesaktian yang serupa dengan tokoh Gathutkaca, semisal, kemampuan untuk terbang. Meskipun demikian, penonton tetap dapat membedakan tokoh ini dari Gathutkaca, sebab sebagai murid kinasih dari Abiyasa, para Pandhawa memanggil Megajéndra dengan sebutan kaki/éyang (‘kakek’). Berikut adalah percakapan antara Wrekudara (tokoh yang ada di berbagai gagrak), dengan Puthut Megajendra (tokoh yang hanya ada di wayang Obrol).
Puthut Megajendra ndangu marang Radèn Wrekudara. ""Kulup Nggèr Wrekudara?"" Wrekudara tumuli wangsulan, ""waaa, apa, Eyang?""
Dengan lakon yang merakyat, ringan, namun sarat makna, Wayang Othok Obrol pernah sangat populer di Wonosobo. Terlebih, biaya operasionalnya cukup terjangkau, karena hanya membutuhkan satu dalang dan delapan niyaga, tanpa sinden. Tujuan pementasannya pun dapat bermacam-macam, seperti hajatan, merti désa, atau ruwatan. Dalam acara ruwatan, terdapat beberapa mantera dan laku khusus. Ki Makim sendiri disebut-sebut sebagai dalang yang dapat meruwat sukerta, keistimewaan yang tak semua dalang memilikinya.
Jika ditarik garis penghubung, terlihat bahwa penyematan nama Othok Obrol ini tak terlepas dari nilai kesederhanaan yang dianut oleh masyarakat setempat. Nilai yang diwariskan sejak masa klasik ini tak hanya tersemat pada sisi penamaan instrumennya, namun juga segi aransemen, personil, hingga lakon yang ditampilkan. Di sisi lain, nilai ini pulalah yang seringkali dianggap membatasi popularitas Wayang Obrol di tengah perkembangan zaman. Buku Deskripsi Kesenian Wayang Obrol menyebut, popularitas kesenian ini meredup seiring membanjirnya media elektronik di era modern. Tak hanya budaya pop, media seperti radio tape dan televisi juga mendongkrak popularitas gagrag lain yang lebih inovatif. Sebaliknya, Wayang Othok Obrol dinilai terlalu kaku, tidak mampu menyesuaikan tuntutan zaman, sehingga perlahan kehilangan pasarnya. Yang menyedihkan, warisan pedalangan yang telah bertahan enam generasi ini terancam tidak ada penerusnya, sebab calon dalang Othok Obrol harus menghadapi godaan gagrag lain yang lebih populer.
Maka, agar transmisi pengetahuannya tidak terputus, serangkaian program telah dijalankan oleh masyarakat Selokromo bersama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo, sebagai langkah perlindungan dan revitalisasi Wayang Othok Obrol. Selain penulisan buku Deskripsi Kesenian Wayang Obrol bersama PEPADI Wonosobo, ada pula pelatihan Wayang Othok Obrol kepada generasi muda yang diinisiasi oleh masyarakat, Disparbud Wonosobo, dan Balai Bahasa Jawa Tengah. Hal ini diharapkan dapat merangsang kreativitas masyarakat untuk mengembangkan Wayang Othok Obrol, serta menambah nilai saing tanpa harus meninggalkan pakem yang sudah ada.