Sejarah
Aspek Sejarah Dalam membicarakan munculnya Tari Baris Babuang yang ada di Desa Adat Batu Lantang, tidak terlepas dari sejarah lisan yang berupa tradisi lisan yang berkembang di Desa Adat Batu Lantang, Desa Sulangai. Tradisi lisan yang berkembang tidak terlepas dengan keberadaan Pura Kancing Gumi yang ada di Desa Adat Batu Lantang. Kapan pura didirikan, belum ditemukan sumber-sumber yang meyakinkan dari sudut pandang ilmu sejarah, meski demikian, ada sumber yang menguraikan sedikit tentang Pura Kancing Gumi tersebut yaitu Lontar Dewa Purana Giri Wana. Lontar tersebut menguraikan tentang kasuksman keberadaan pura tersebut. Dalam Lontar Dewa Purana Giri Wana tersebut diceritakan tentang Hyang Gunung Alas sebagai stana Lingga Pasupati. Stana tersebut telah ditumbuhi oleh pohon-pohon rindang dengan sulur-sulurnya, ada yang besar, ada yg kecil dan telah tertimbun oleh tanah. Suatu hari datanglah masyarakat umum mendirikan pedukuhan atau sejenis desa pakraman dengan membuat pondok-pondok dengan dikelilingi oleh telaga. Masyarakat kemudian merabas sebagian hutan tersebut seperlunya dan juga meratakan tanah yang akan dijadikan sawah ladang. Saat merabas beberapa kayu dan meratakan tanah masyarakat menjumpai batu besar dan tinggi. Dicarilah pangkal batu tersebut. Tetapi tidak bisa dijumpai pangkal batu tersebut, sesuai yang dikutip di Purana Pura. Keberadaan batu besar ini berupa Lingga dengan nama Siwa Mangadeg yang artinya batu berdiri, ketika digali panjangnya sekitar 15 depa. Batu Lantang tersebut kemudian disebut Pura Kancing Gumi sebagai Stana Tuhan dengan sebutan Hyang Gunung Alas. Sepertinya Hyang Gunung Alas itulah sesungguhnya sebagai Stana Lingga Pasupati. Lingga Pasupati itu tiada lain adalah Sang Hyang Siwa yang memiliki tiga wujud (murti) menjadi Brahma, Wisnu dan Iswara atau Rudra. Seperti namanya pura ini merupakan kunci yang menentukan kesetabilan Pulau Bali bahkan dunia. Karenanya, di kalangan warga Desa Adat Batulantang pura ini diyakini sebagai penekek jagat atau penguat atau penjaga kestabilan dunia. Pura Kancing Gumi juga menjadi tempat untuk memohon keselamatan bagi yang sakit, kesehatan binatang piharaan ataupun tanaman di sawah dan ladang yang diserang hama. Status Pura Kancing Gumi sebagai Pura Kahyangan Jagat. Selain adanya Lingga, di Pura ini juga terdapat peninggalan berupa Kaling atau Guci Tua dan piring-piring yang sudah dalam keadaan pecah. Semua ini ditemukan disekitar kawasan Pura Beji yang jaraknya tidak jauh dari Pura berada dan hingga saat ini benda-benda tersebut masih tersimpan dengan rapi di dalam Pura. Sedangkan mengenai Desa Adat Batu Lantang juga mempunyai tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat secara turun-temurun. Desa Adat Batu Lantang di Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung tidaklah sebatas sebagai lokasi berdirinya Pura Kancing Gumi. Batu Lantang juga memiliki sejarah yang berkaitan erat dengan sejarah Pura. Nama Batu Lantang diambil dari bukti kuno yang tersimpan di areal Pura Kancing Gumi yang berbentuk batu yang cukup panjang dan warga menyebutnya Batu Dawa atau Batu Lantang. Wilayah ditempat penemuan itu kemudian juga diberi nama Desa Batu Lantang hingga sekarang. Awalnya tidak ada yang tahu ada peninggalan berupa batu panjang. Pasalnya, batu panjang yang juga disebut sebagai Lingga Pasupati itu tertutup oleh pepohonan. Sekelompok orang yang datang ketempat itu melihat daerah itu cukup bagus untuk dijadikan pemukiman. Merekapun merabas hutan itu dan ditempat itu juga akhirnya menemukan batu panjang tersebut. Karena dianggap suci, batu panjang itupun dikermatkan. Batu panjang tersebut, pernah digali oleh masyarakat setempat. Penggalian itu ternyata malah merusak batu panjang tersebut. Batu kuno itu malah terpatah-patah, sementara ujung batunya tidak pernah diketemukan. Ketika sampai pada patahan kesebelas terjadi keajaiban. Menurut hasil bawos, batu itu memang tidak boleh digali atau dipindahkan karena memang memiliki fungsi khusus untuk menjaga Bali. Ujung batu lantang itu diyakini menyentuh dasar bumi. Hasil penelitian Balai Arkeologi Denpasar Tahun 1991 menyimpulkan batu lantang itu sebagai Menhir. Menhir merupakan bentuk Megalitik dari zaman prasejarah yang kerap difungsikan untuk tempat pemujaan. Ada sebelas buah Menhir yang berupa sebelas patahan yang ditemukan. Kesebelas patahan itu dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok lima dan kelompok empat. Selain Menhir, Balai Arkeologi juga menemukan benda-benda arkeologi lainnya, keramik asing berupa sebuah guci, sebuah cepuk lengkap dengan tutupnya, empat buah mangkuk dan dua buah piring yang sudah tidak utuh lagi. Keramik-keramik itu diduga berasal dari Dinasti Yuan berkisar abad 13 - 14, Dinasti Ming berkisar abad ke-17 dan ada diantaranya berasal dari masa peralihan yaitu pada abad ke-18. Ada juga temuan benda perunggu berupa sebuah wadah yang beralas datar dan sebuah tepian dari sebuah wadah yang cukup besar. Benda-benda perunggu ini berwarna coklat kehitaman dengan pratina warna hijau. Temuan-temuan arkeoligis ini menunjukkan Batu Lantang merupakan Desa Kuno. Melihat struktur Pura Kancing Gumi, dapat diduga pula di Desa Adat Batu Lantang terjadi pertemuan yang apik antara tradisi Megalitik dan Agama Hindu yang dibawa dari Jawa Timur. Kini Batu Lantang menjadi satu dari tiga Desa Adat di wilayah Kaperbekelan (Desa) Sulangai. Dua Desa Adat lainnya Desa Adat Sulangai dan Desa Adat Sandakan. Desa Adat Batu Lantang terdiri dari satu Banjar. Desa Adat Batu Lantang mempunyai struktur tanah yang subur, perkebunan kopi, cengkeh, Vanili, kelapa, pisang, ketela termasuk padi sawah yang tumbuh baik. Munculnya Tari Baris Babuang berdasarkan latar belakang sejarah Desa Adat Batu Lantang ataupun Legenda yang berkembang di wilayah tersebut. Setiap tari yang berhubungan dengan suatu legenda bentuk gerak tariannya mengandung makna, dalam arti setiap ragam gerak ada pertaliannya dengan tradisi lisan atau legenda di daerah tersebut. Kostum biasanya juga disesuaikan dengan tradisi yang sesuai dengan kondisi tradisi lisan yang ada (Rusliana, dkk., 1977/1978: 74). Biasanya mempunyai ikatan gerak yang satu dengan yang lain sebagai sebuah tarian sakral hingga dewasa ini. Begitu halnya Tari Baris Babuang yang ada di Desa Adat Batu Lantang gerak dan kostum tariannya menyesuaikan dengan tradisi lisan mengenai sejarah Desa Adat Batu Lantang dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Jadi hampir disetiap wilayah atau daerah banyak yang mempunyai tradisi lisan baik itu berupa dongeng, legenda, ceritera rakyat, dan sebagainya. Biasanya tentang asal usul nama sebuah tempat, desa, danau, atau ceritera-ceritera tentang kejadian sesuatu seperti halnya Tari Baris Babuang di Desa Adat Batu Lantang yang erat kaitannya dengan adanya Pura Kancing Gumi dan Desa Adat Batu Lantang. Penyebarannya ke masyarakat biasanya juga melalui lisan atau dari mulut ke mulut. Penyebaran semacam ini adalah suatu hal yang sangat tradisional di masa lampau, berbeda sekali dengan era sekarang yang serba cepat dan modern baik melalui media cetak, media elektronik, maupun media sosial. Perkembangan Terkini Masyarakat Desa Adat Batulantang masih mempertahankan eksistensi tradisinya dengan mementaskan Tari Baris Babuang. Walaupun terjadi berbagai perubahan zaman dan generasi, tari baris babuang hingga kini tetap dilaksanakan dengan tetap menampilkan keunikan. Di era sekarang gerakannya juga lebih disesuaikan dan lebih bagus karena diatur oleh guru tari. Disamping itu tari baris babuang menjadi kepercayaan masyarakat desa adat batu lantang yang bersifat mengikat masyarakat di wilayah tersebut. Pementasan tari baris babuang merupakan rangkaian rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Tarian ini juga tetap dilaksanakan di tengah perubahan zaman dan era modernisasi, sebagai tarian sakral dalam ritual keagamaan.
Tari Baris Babuang yang masih dipentaskan hingga kini merupakan implementasi dari integrasi sosial, serta merasa terikat dalam satu kesatuan bersama. Penari, Tata Rias dan Perlengkapan
a. Penari Penari merupakan seeorang yang berperan sebagai aktor yang memperagakan setiap gerak-gerak yang terdapat pada tarian tersebut. Tari Baris Babuang ditarikan oleh penari yang terdiri dari 8 orang laki-laki yang masih perjaka dan merupakan krama atau orang dari Desa Adat Batulantang. Penari ini bisa secara bergantian dengan jadwal yang telah diatur oleh sekaa yang ada di desa tersebut. Selain syarat diatas, syarat pendukung lainnya adalah penari sedang tidak dalam kondisi cuntaka yakni sebuah kondisi dimana seseorang sedang dalam keadaan kotor/tidak suci akibat dari kematian dikeluarganya maupun hal-hal lain yang dipandang kotor menurut Agama Hindu.
b. Tata Rias dan Busana Penari dalam Tari Baris Babuang mengenakan pakaian yang berwarna hitam, putih, abu dengan tepi berwarna merah, celana panjang berwarna merah putih hitam serta mengenakan saput poleng sambil membawa kerudung berwarna merah yang bergambar bhuta kala (raksasa). Disamping itu penari juga memakai pusuh biu (bunga pisang) yang digigit dimulutnya sebagai penggambaran gigi taring. Dalam tata rias, penari Baris Babuang tidak mengenakan tata rias yang beraneka macam.
c. Perlengkapan Adapun perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan dalam tari baris babuang antara lain :
1. Blecong atau bongkot Blecong atau bongkot dibawa penari Baris Babuang pada sesi pementasan pertama merupakan simbol tombak yang dibawa oleh prajurit. Pada awalnya penari menggunakan tombak sungguhan, namun karena penari sering mengalami kesurupan, dan ditakutkan melukai penari lainnya maupun penonton, maka pada perkembangannya para tetua menggantinya menggunakan sarana blencong atau bongkot (tangkai pohon kecicang/kecombrang bahasa latinnya Eflingera Elatior).
2. Pusuh Biu Pusuh Biu/ bunga pisang dikenakan oleh penari dimulutnya dengan cara digigit. Pusuh biu melambangkan sebuah taring yang terkesan menyeramkan, ganas yang menyerupai Babuang/semut hitam.
3. Banten/sesajen Pementasan Tari Baris Babuang merupakan satu rangkaian dengan dilangsungkannya upacara piodalan di Pura. Dengan demikian banten atau sesajen yang menyertainya tak terlepas dari banten upacara piodalan itu sendiri. Secara spesifik banten yang digunakan saat Tari Baris Babuang dipentaskan yaitu:
• Suci/ayaban merupakan lambang dari kesucian rohani menuju kemakmuran
• Pengulap Pengabean berfungsi sebagai normalisasi dari unsur-unsur negatif
• Tipat kelanan Dampulan Melambangkan bahwa jiwa seseorang yang digodok berbagai macam pengalaman hidup
• Nasi kojong, isi sate, sarana ini diletakkan ditengah area pementasan tari baris babuang
• Segehan lima, dihaturkan kepada bhuta kala agar tidak menganggu dalam prosesi upacara Prosesi Pementasan Tari Baris Babuang Tari Baris Babuang dipentaskan saat upacara piodalan di beberapa pura yang terdapat di Desa Adat Batu Lantang.
Masyarakat Desa Adat Batu Lantang mewarisi Tari Baris Babuang ini secara turun temurun dari generasi ke generasi dari masa ke masa hingga hari ini. Setiap di selenggarakannya upacara di Pura Kahyangan Jagat Pura Kancing Gumi, serta beberapa pura lainnya Tari Baris Babuang selalu ditarikan. Keunikan dari Tari Baris Babuang yaitu pada penarinya membawa Blecong atau Bongkot (tangkai pohon kecicang/kecombrang bahasa latinnya Eflingera Elatior) serta pusuh biyu (jantung pisang) dengan kepala memakai kekudung (kerudung) yang dirajah (kaligrafi) Aksara Suci Aksara Bali. Tari Baris Babuang ditarikan secara berkelompok yang ditarikan 8 orang penari laki-laki (Konsep Asta Dala), dimana penari mempunyai persyaratan wajib yakni: masih perjaka dan mengenakan pakaian yang dominan berwarna merah, membawa blecong atau bongkot sebagai perwujudan dari tombak, serta mengenakan pusuh biu (pelepah bunga jantung pisang) yang menggambarkan taring dan lidah seekor babuang, yaitu sejenis semut hitam.
Pementasan atau pertunjukan Tari Baris Babuang terdiri dari dua bagian:
I. Bagian pertama: keempat penari membawa Blencong, menari dengan teratur yang mengambarkan prajurit yang sedang berjaga-jaga. Blencong atau bongkot adalah simbolisme dari tombak atau senjata yang dipergunkan seorang prajurit sebagai kelengkapan dalam melaksanakan tugasnya.
II. Bagian kedua: keempat penari keluar dari dalam pura dengan menggunakan kerudung dan berhias dengan mengenakan pusuh biu (jantung pisang) sebagai simbul taring. Penari keluar satu persatu dari dalam pura menuju kehalaman tengah pura, tempat dimana dilangsungkan upacara serta telah disediakan upakara yang terdiri dari:
• Suci (Ayaban)
• Soroan
• Segehan warna lima
• Nasi Plekosan / Nasi Kojong
• Sate
• Tipat Dampulan Akelan
• Pengulapan/Pengambean
Pada awalnya dua orang penari terlebih dahulu keluar dari pura, menari menirukan gerakan Babuang, bersamaan dengan itu pemangku mempersiapkan upakara yg diperlukan serta melakukan persembahyangan. Beberapa saat kemudian keluar lagi dua orang penari dari pura menuju halaman pura (madya mandala), disaat itu pemangku tengah memanjatkan doa menghaturkan banten/upakara. Disaat bersamaan, keempat penari menari dengan formasi mengelilingi pemangku, selanjutnya setelah pemangku selesai menghaturkan upakara penari mulai menari berputar mengelilingi banten (upakara) yang telah didoakan oleh pemangku. Kali ini gerakan berputarnya agak cepat dan diiringi alunan tabuh yg ritmenya semakin cepat. Disisi lain, diasaat itu pula ada masyarakat yang datang mengikuti upacara mengalami kerauhan (kesurupan) sehingga suasana magis sangat dirasakan saat pementasan Tari Baris Babuang tersebut.
Tari Baris Babuang Desa Adat Batu Lantang diiringi dengan seperangkat alat musik Gong Kebyar dengan terdiri dari :
1. 4 buah gangsa,
2. 4 buah kantil,
3. 2 buah ugal,
4. 2 buah penyacah,
5. 2 buah jublag,
6. 2 buah jegog,
7. 1 set reong,
8. 1 set terompong,
9. 2 buah kendang,
10. 2 buah gong besar,
11. 1 buah kempur,
12. 1 buah bebende,
13. 1 set cengceng kecil,
14. 8 set cengceng besar,
15. 1 buah kempli, dan
16. 1 buah kajar.
Nilai Filosofi Tari tradisional merupakan jenis tarian yang sudah turun-temurun diwariskan dari jaman nenek moyang. Jenis tari ini sangat mengedepankan nilai filosofi, simbolis dan religious. Segala aturan tari ini biasanya masih kaku bertumpu pada pedoman leluhur. Tari Baris Babuang di Desa Adat Batu Lantang dapat dikelompokkan dalam tari tradisional. Sejak dulu tarian sudah dijadikan sebagai sarana upacara, baik upacara keagamaan maupun upacara penutup dalam kehidupan manusia. Tari keagamaan tujuannya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan biasanya bersifat sakral. Tarian yang dijadikan sebagai sarana upacara sangat mempertimbangkan pemilihan tempat, waktu, penari dan sesajian yang tepat Tari Baris Babuang Termasuk kategori tari sakral yaitu tari yang berfungsi sebagai pelengkap pelaksana dalam upacara keagamaan. Ditarikan hanya di tempat-tempat suci, pura dan tempat yang ada hubungannya dengan upacara keagamaan. Tarian ini dilaksanakan saat berlangsungnya upacara keagamaan dengan gerak gerik yang simbolis. Tari Baris Babuang dibawakan oleh 8 (delapan) orang penari yang kesemuanya adalah laki-laki dan masih perjaka yang merupakan warga Desa Adat Batu Lantang. Tarian ini pada dasarnya merupakan tarian yang menggambarkan kegagahan serta kelincahan seorang prajurit yang siap sedia mengamankan wilayah mereka serta siap sedia maju dalam medan perang. Tarian ini pada dasarnya merupakan ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan (Ida Sanghyang Widhi Wasa) karena telah memberikan anugerah berupa hasil panen yang dapat dinikmati oleh masyarakat pendukungnya. Pada saat pementasan tari ini dibagi menjadi dua tahapan. Pada tahap pertama masing-masing penari membawa peralatan seperti blencong atau berupa bongkot yang menggambarkan sebuah senjata. Pada tahap kedua para penari membawa peralatan berupa pusuh (bunga pisang) dan kudung yang berupa kain poleng yang telah disiapkan sebelumnya. Para penari pada tahap kedua ini dianggap sebagai perwujudan bhutakala. Pada pelaksanaan upacara para perwujudan bhutakala ini akan disomiya (dipersembahkan) sesajen dengan maksud agar keberadaan bhutakala tersebut tidak mengganggu kehidupan manusia di alam semesta ini. Tari Baris Babuang ada hubungannya dengan istilah mabuwu (nyomiyang bhuta). Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup terlebih dahulu manusia harus melakukan Butha Hita untuk mensejahterakan alam lingkungan. untuk melakukan Butha Hita kepada para butha itu dengan cara melakukan Butha Yadnya untuk dapat menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtera. Fungsi dan Maknanya Bagi Masyarakat Adapun fungsi dari Tari Baris Babuang diantaranya: - Sebagai Pengiring Upacara/Piodalan Tari Baris Babuang sejak dulu dijadikan sebagai sarana upacara baik upacara keagamaan maupun upacara penutup dalam kehidupan manusia. - Sebagai sarana pendidikan mengajar warga cara berfikir dan meningkatkan krativitas. Penyajian Tari Baris Babuang saat dilangsungkan upacara piodalan, tentunya memerlukan persiapan-persiapan dari jauh hari. Pertemuan-pertemuan antara warga pendukung upacara ini dilangsungkan guna membahas mengenai pembagian kerja saat berlangsungnya upacara serta mempersiapkan segala kebutuhan pendukung upacara diantaranya persiapan berbagai sarana upakara, - Sebagai Pelestari Seni Budaya Sebagaimana diketahui bahwa Tari Baris Babuang mempunyai hubungan yang erat dengan keberadaan masyarakat di Desa Adat Batulantang yang kemudian diwariskan secara turun temurun kepada generasi muda, karena tarian tersebut sebagai sarana pelaksanaan upacara yang dilangsungkan secara tentative di desa tersebut. Hal tersebut memperlihatkan bahwa leluhur Desa Adat Batulantang secara tidak langsung telah melakukan proses pelestarian budaya yang ada di desa setempat. Makna Tari Baris Babuang bagi masyarakat meliputi: permohonan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat kehadapan Tuhan berdasarkan Tri Hita Karana yaitu:
Prinsip pelestarian dan keharmonisan:
• Manusia dengan Tuhan
• Manusia dengan sesama
• Manusia dengan alam lingkungannya.