Blayag merupakan salah satu jenis makanan tradisional yang dikenal di kalangan masyarakat umum khususnya di Kabupaten Karangasem. Selain untuk dikonsumsi, blayag pada awalnya merupakan salah satu kelengkapan untuk banten atau perlengkapan upacara yadnya. Keunikannya blayag dalam pembuatannya, serta fungsinya sebagai kelengkapan banten atau persembahan pada saat upacara di persawahan ataupun pada saat piodalan di pura, membuat blayag kemudian dikembangkan menjadi salah satu kuliner yang diminati masyarakat.
Sejarah:
Blayag diperkirakan telah ada sejak adanya subak di Bali (Prasasti Klungkung A, Tahun 1072 Masehi). Berdasarkan wawancara dengan budayawan Ida I Dewa Gede Catra mengatakan “semenjak ada subak, semenjak ada upacara untuk Dewi Sri, mulai saat itu sudah ada banten blayag” dimana blayag digunakan sebagai sarana ritual keagamaan pada masyarakat Hindu Bali khususnya ritual-ritual yang berkaitan dengan tahapan bercocok tanam di persawahan yang dilaksanakan oleh para petani seperti upacara Mabiukukung. Hal ini sangat berkaitan erat dengan budaya agraris yang berkembang di kehidupan masyarakat Bali. Jejak-jejak ritual inilah yang dapat dijadikan bukti bahwa blayag ada sejak berkembangnya tradisi pertanian hingga sekarang masih eksis dan tampak dalam rangkaian ritual upacara di sawah. Ritual mebiukukung dan tradisi yang berhubungan dengan kegiatan pertanian selalu berkaitan dengan sistem Subak di Bali. Selain itu, berdasarkan lontar Sundarigama, hari raya lainnya yang mempergunakan blayag adalah soma ribek dimana masyarakat menghaturkan sesajen di lumbung beras sebagai rasa syukur atas panen padi yang berlimpah yang dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Sri Amrta dan juga Dewi Sri (Dewi Kesuburan).
Informasi mengenai awal mula blayag dapat ditelusuri dari berbagai manuskrip dan testimoni dari pelaku-pelaku budaya yang memberikan gambaran blayag sebagai sarana upacara maupun konsumsi/makanan seperti yang disampaikan oleh narasumber Ida Wayan Djelantik Oyo (tokoh masyarakat) bahwa dalam setiap upacara yadnya pada hari ketiga (H+3) akan dilaksanakan ritual melayagin atau ngelemekin (tersurat dalam Dharma Smerthi) yang berarti lambang atau simbol kesuburan. Blayag menjadi sumber utama dalam persembahan dan memiliki fungsi yang sangat penting dalam ritual dewa yadnya maupun manusa yadnya sehingga dinamakan tradisi melayagin. Dalam hal inilah blayag dikatakan memiliki nilai budaya karena merupakan tradisi leluhur dan difungsikan sebagai sarana upacara. Setelah prosesi persembahyangan selesai banten yang dihaturkan yang berisi jajan, ulam (sate/ayam bakar dll), blayag/nasi/tumpeng, buah, dan sarana lainnya kemudian dilungsur atau diambil kembali. Banten lungsuran yadnya itu nantinya akan dimakan bersama oleh anggota keluarga. Makanan yang telah dihaturkan disebut prasadam. Menurut kepercayaan agama Hindu makanan yang baik dimakan adalah makanan yang sudah dipersembahkan terlebih dahulu.
Dalam Bhagawad Gita IV-31 menyebutkan:
“Yajna sistamrta bhujo – yanti brahma sanatanam – nayam loko sty ayajnasya – kuto nyah kuru-sattama”.
Artinya
“Mereka yang makan makanan suci yang setelah melalui suatu persembahan atau pengorbanan akan mencapai Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersembahkan suatu pengorbanan atau yadnya,”
Dalam kitab manawa Dharmasastra juga dijelaskan tentang makanan untuk upacara yadnya
“Dewanrsin manusyamsca pitrn grhyasca dewatah pujayitwa tatah pascad Grhastha sesabhugbha”
(Manawa Dharmasastra III. 117)
Maksudnya:
“Setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan, kepada para Resi, leluhur yang telah suci (Dewa Pitara), kepada Dewa penjaga rumah dan juga kepada tamu. Setelah itu barulah pemilik rumah makan. Dengan demikian ia lepas dari dosa”.
Perkembangan selanjutnya blayag dari sarana upacara menjadi komoditi ekonomi atau kuliner khususnya di Karangasem diperkirakan dimulai di era tahun 1950-an (wawancara dengan Mek Sambru, pelaku ekonomi blayag), yang diawali dari generasi pertama leluhur beliau berjualan di emper pertokoan di depan Pura Puseh Desa Adat Karangasem. Puluhan tahun kemudian semakin berkembang warung-warung yang berjualan blayag sebagai komoditi ekonomi sampai sekarang.
Proses Pembuatan Blayag:
Proses pembuatan blayag mempergunakan bahan janur atau ambu (daun enau muda), membuat rasa blayag menjadi unik, blayag terasa kental dan kenyal. Blayag hampir sama seperti ketupat, namum perbedaannya terletak pada bentuk dan cara membuatnya, blayag tidak dianyam akan tetapi digulung-gulung berbentuk lonjong. Blayag akan diisi dengan beras sampai setengahnya kemudian diikat dengan tali supaya pada saat direbus tidak lepas. Setelah diisi beras dan diikat selanjutnya akan direbus dengan durasi waktu 3-4 jam. Selama perebusan apabila air rebusan sudah berkurang akan ditambahkan lagi sebanyak 2-3 kali. Proses merebus yang lama akan berpengaruh pada cita rasa blayag, semakin lama akan membuat blayag semakin lembut karena butiran-butiran beras akan menyatu. Setelah selesai perebusan blayag tersebut akan diperas agar sisa airnya hilang sambil membuka ikatan talinya.
Kuliner blayag untuk memperkaya rasa biasanya divariasikan atau dikombinasikan dengan berbagai jenis menu tradisional sebagai menu tambahan dalam penyajiannya. Adapun menu sajian yang ditampilkan dalam menu Blayag Mek Sambru adalah :
1) blayag yang telah dibuka kulitnya
2) be siap metoktok (daging ayam rebus yang digeprek)
3) sate serapah (bahannya dari kulit ayam, hati ayam dan rebusan darah ayam)
4) tim daging ayam
5) geragasan (tulang/daging ayam yang direbus santan kelapa)
6) tempe goreng rasa asam-manis
7) tempe santan rebus
8) pemelicingan (sambal dari cabai merah)
9) pelalah (sambal dari cabai merah)
10) bawang goreng
11) sayur olah yang terbuat dari rebusan kacang panjang dicampur bumbu dan santan kelapa
12) sayur urab kacang panjang
13) sayur urab daun belimbing
14) sayur buah nangka
15) berbagai aneka jenis sayur urab lainnya sesuai dengan musim,
16) kacang goreng
17) saur (bahan dari parutan kelapa)
18) telur
Setiap menu diatas akan disajikan dalam wadah yang terpisah. Setiap peminat atau pembeli bebas untuk memilih lauk dan sayur yang diminati sebagai menu pendamping blayag. Dari semua menu yang disajikan yang menjadi ciri khas kuliner blayag Karangasem adalah be siap tok-tok atau daging ayam yang sudah direbus selanjutnya digeprek dan disajikan dengan sambal pemelecingan dengan rasa yang biasanya agak pedas.
Fungsi Blayag
Fungsi blayag dalam kehidupan masyarakat Karangasem yakni:
1. Fungsi Biologis
Blayag berasal dari bahan dasar beras yang mengandung karbohidrat dipadukan dengan lauk dan sayur dengan bumbu tradisional Bali yang sangat enak untuk dikonsumsi, Hal ini menjadikan blayag memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan biologis masyarakat.
2. Fungsi Religi dan Sarana Upacara
Blayag awalnya muncul adalah sebagai sarana upacara yadnya yakni upacara yang berkaitan denga pertanian atau masa cocok tanam di sawah. Selain itu juga setiap pelaksanaan upacara Dewa Yadnya selalu ada proses mlayagin. Hal inilah yang menjadikan blayag berfungsi religi dan sarana upacara.
3. Fungsi Sosial / Integrasi Sosial
Blayag yang dipergunakan sebagai sarana upacara merupakan bentuk dari ketaatan seseorang bahkan komunitas dalam menjalankan ritual keagamaannya. Dalam upacara mlayagin yang dilangsungkan kerap kali dijadikan ajang bertemu dan seusai upacara akan makan bersama lungsuran (sesajen yang sudah dihaturkan). Dengan demikian penyajian blayag dalam sesajen sekaligus berfungsi untuk mendekatkan hubungan sosial atau menciptakan integrasi sosial.
4. Fungsi Budaya
a. Identitas daerah, blayag merupakan salah satu makanan khas dari Kabupaten Karangasem yang resep tradisionalnya sudah diwariskan secara turun temurun meskipun sekarang sudah bisa ditemui di daerah lain namun yang memberikan ciri khas adalah menu pendamping blayag Karangasem dengan racikan bumbu yang diwariskan menjadi ciri khas daerah.
b. Diplomasi budaya, sebagai salah satu menu tradisional blayag dapat menjadi bahan untuk memperkenalkan Kabupaten Karangasem kepada masyarakat luar Karangasem. Kekhasan rasa akan mengundang masyarakat.
Bertahannya blayag dalam dinamisasi masyarakat Kabupaten Karangasem tentunya disebabkan karena makanan tradisional ini mempunyai nilai-nilai budaya yang mengikat masyarakat Karangasem. Beberapa aspek terkait dengan nilai budaya yang terkandung dalam blayag antara lain:
1. Nilai Religius
Blayag sebelum dikenal sebagai kuliner khas Karangasem lebih dulu digunakan sebagai sarana upacara yadnya/sesajen pada upacara mebiukukung, soma ribek, tumpek uye dan upacara lainnya serta masih berlangsung sampai saat ini yang sering disebut mlayagin yang memberikan nilai sakral sebagai simbol persembahan kepada Tuhan dalam manifestasi beliau yang berkaitan dengan kesuburan dan kesejahteraan.
2. Nilai Ekonomi
Seiring perjalanan blayag dari sarana upacara menjadi salah satu menu kuliner khas Karangasem tentunya memberikan nilai tambah dalam blayag itu sendiri. Sebagai kuliner khas blayag dapat dikonsumsi oleh semua kalangan umur hal ini tentunya bisa menjadi sebuah komoditi daerah yang bernilai ekonomi. Selain itu bagi pelaku sektor kuliner blayag sangat menjanjikan karena harga yang terjangkau dan semakin tingginya minat masyarakat terhadap blayag membuat kehidupan ekonominya meningkat.
3. Nilai Kekeluargaan
Pada kehidupan masyarakat Karangasem terdapat sebuah tradisi megibung blayag yakni makan bersama blayag yang dilaksanakan setelah selesainya upacara. Blayag yang dimakan adalah lungsuran (sesajen yang sudah dipersembahkan/dihaturkan). Makan bersama ini mengandung nilai kekeluargaan dan kebersamaan, karena kegiatan ini lebih mempererat rasa kebersamaan, rasa saling asah, asih dan asuh antar keluarga maupun masyarakat.
4. Nilai Solidaritas
Nilai Solidaritas atau nilai kesetiakawanan sosial terlihat dari adanya kerjasama antara Mek Sambru (pelaku kuliner blayag) dengan pemilik toko tempat beliau berjualan yang memberikan secara sukarela tanpa meminta sewa.
5. Nilai Historis
Berkembangnya blayag dari sebagai sarana upacara menjadi kuliner yang dikonsumsi awalnya hanya disajikan untuk kerabat dan tamu kerajaan akhirnya berkembang menjadi konsumsi masyarakat umum, memberikan catatan tersendiri akan historis perjalanan blayag sebagai makanan tradisional. Kebertahanan dan proses inilah yang tidak boleh dilupakan atau tergerus peradaban zaman yang membuat nilai historis makanan tradisional ini terlupakan.