Sejarah ritual Palakiah Palean Raga di Kampung Gunung Dukuh Desa Citapen Kabupaten Bandung Barat, merujuk pada lahirnya Paguron Ajaran Pencak Silat Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka oleh Maha Guru KH. Adjie Djaenudin bin H. Usman. Beliau telah menekuni dunia persilatan sejak tahun 1927 dan berguru pada Mama H. Usman (Syahna Semarang), Endjan Djamhari (Pangalengan Kabupaten Bandung), Mama Sa’i (Cimindi Bandung), Embah Bi’in (Ciampea Taralikolot Bogor), Bang Jam’an dan Bang Alip (Kuwitang Jakarta). Sehingga dengan kemampuan dan kreativitas yang dimilikinya, KH. Adjie Djaenudin mampu merumuskan komposisi jurus ulin Kari, ulin Madi, dan syahbandar yaitu ringan, keras dan pertimbangan sebanyak 24 jurus yang merupakan dasar gerakan Paguron Ajaran Pencak Silat Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka.
Paguron dan lambangnya dibentuk pada tanggal 20 Mei 1959 di Kampung Geger Senang, Desa Sukarasa Kecamatan Semarang Kabupaten Garut, dengan tujuan untuk mengebangkan, melestarikan dan mempertahankan jurus dari pencak silat. Pada perkembangannya, jurus pencak silat di Paguron Ajaran Pencak Silat Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka telah tersebar di wilayah Jawa Barat, salah satunya Kabupaten Bandung Barat.
Penyebaran ajaran Palakiah Palean Raga Gadjah Putih dilakukan oleh Abah Adang Adjie Saefulloh sebagai murid terakhir KH. Adjie Djaenudin dimulai pada tahun 1991 di Kampung Cinta Karya Bojong, Desa Citapen dan kemudian pada tahun 2005 ajaran Gadjah Putih di Kampung Gerang Desa Citapen, Wilayah Kabupaten Bandung. Seiring dengan pemekaran wilayah Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2007, maka dalam penyebarannya di tahun 2009 ajaran Gadjah Putih terus dikembangkan di Kampung Gunung Dukuh Desa Citapen yang sekarang masuk pada Wilayah Kabupaten Bandung Barat. Pada tahun 2019, antara para ahli waris Paguron Ajaran Pencak Silat Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka mengadakan rapat untuk menyepakati penambahan Nusantara dalam nama Paguron Ajaran Pencak Silat Mega Paksi Pusaka menjadi telah disepakati untuk menambahkan, sehingga namanya menjadi Paguron Ajaran Pencak Silat Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka Nusantara.
Palakiah Palean Raga dijadikan syarat bagi setiap calon pesilat sebelum mengikuti bela diri. Tujuannya yaitu supaya calon pesilat dapat selamat lahir dan batinnya pada saat mengikuti pelatihan pencak silat di Paguron Gadjah Putih Mega Paksi, termasuk melancarkan gerakan otot sehingga mudah untuk menguasai jurus-jurus yang diajarkan. Palakiah Palean Raga dipercaya juga sebagai perbuatan mulia yang mampu membuat badan/ raga menjadi lentur melalui tindakan pijit, urut dan totok. Hal tersebut mengacu kepada makna dan simbol lambang Paguron Pencak Silat Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka, adapun makna dari Paguron tersebut adalah: (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat, 2019: 8)
Gadjah Putih: Seekor satwa besar yang gagah berani berwarna putih yang melambangkan kesucian, diibaratkan sebuah kendaraan dalam membela kebenaran dan kebajikan hidup yang diridhoi oleh Allah SWT dan belalai Gadjah dengan kelincahannya seta kuat bermulti guna demi keselamatan umat manusia.
b) Mega: Luhur, bercita-cita tinggi dalam membela nusa bangsa yang ber-Pancasila dan beragama
c) Paksi: Jujur, cepat, lurus, demi keadilan kebenaran dan keparipurnaan hidup manusia duniawi dan uhrowi.
d) Pusaka: Terpelihara, wajib dipelihara warisan leluhur supaya tetap tunggal dengan kesatuan dan persatuan dalam membela dan mencapai cita-cita. Palakiah Palean Raga bagian dari jurus yang digunakan untuk melenturkan tubuh, dengan memijat, mengurut dan menotok yang dibantu oleh ramuan khusus.
e) Nusantara : Ruang dan waktu perjalanan ajaran ini menyangkut lingkup wilayah Indonesia.
Pelaksanaan Palakiah Palean Raga dilakukan ketika masa orientasi calon pesilat akan masuk ke Paguron Ajaran Pencak Silat Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka Nusantara. Namun, untuk penentuan waktu biasanya bergantung kepada pemilik otoritas ajaran. Adapun berikut proses pelaksanaan dari ritual Palakiah Palean Raga, sebagai berikut:
Persiapan Ritual Palakiah Palean Raga (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat, 2019: 10)
a. Sebelum pelaksanaan ritual Palakiah Palean Raga, dilakukan doa kepada Allah SWT sekaligus mengirimkan doa kepada leluhur yang telah mengajarkan Pencak Silat.
b. Setelah melaksanakan doa, terlebih dahulu disampaikan sesajen untuk para leluhur, sesajen digunakan dengan makna sebagai salah satu sarana penghubung antara manusia dengan alam superanutural (Ani, 2017: 367). Sesajen dihaturkan pada saat-saat tertentu dalam rangka kepercayaan terhadap makhluk halus, yang berada ditempat-tempat tertentu. Adapun sesajen yang disediakan terdiri dari 12 (dua belas) macam sarana seperti bunga, kemenyan, uang recehan, makanan, yang dimaksudkan supaya roh-roh tidak menggangu dan mendapatkan keselamatan. Perlengkapan sesaji dalam ritual Palakiah Palean Raga sudah menjadi kesepakatan bersama yang tidak boleh ditinggalkan, karena sesaji merupakan sarana pokok dalam ritual. Berikut penjelasan jenis sesaji dalam ritual Palakiah Palean Raga: (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat, 2019: 12-13)
1) Parukuyan/ tempat membakar kemenyan mengandung makna bahwa seloka dari saripatinya api yang menyampaikan asap kemenyan pengantar rasa wewangian kepada alam kecusian hati.
2) Ngukus Kemenyan (membakar kemenyan), yang memiliki makna proses menghasilkan asap mengepul dan menimbulkan bau wangi yang menggambarkan bentuk doa yang dipanjatkan kepada Allah. Doa ini menuju langit, semoga kelak tersebarnya wewangian menjadi kebaikan, serta menjauhkan dari sifat kejahatan.
3) Bekong batok kelapa, yang menjelaskan bahwa manusia harus kreatif dan inovatif sehingga hidupnya dapat bermanfaat, jangan sampai hidup ini tidak ada gunanya untuk masyarakat. Batok kelapa ini tempat menyimpan air putih, air kopi manis dan air kopi pahit.
4) Rujakeun, menggabungkan semua yang menghadirkan nuansa rasa baru. Artinya walaupun beda alam namun rasa kasih sayang antara hidup dan yang sudah meninggal masih menyatu.
5) Rokok garam beureum, artinya tembakau yang dihisap asapnya hilang ke alam baqa. Bahwa yang berwujud sebab akibat akan hilang.
6) Endog dara mangka baranah/ Telor ayam kampung. Artinya yaitu bibit yang menjadi awal adanya sebuah proses berwujud dan hidup serta berkembang.
7) Tumpeng, artinya suatu ketaatan dalam memegang teguh amanat nenek moyang atau para leluhur kita lakukan dan adat istiadat atau kebiasaan yang pernah mereka laksanakan sebelumnya.
8) Bakakak, artinya kita berbakti kepada Allah, agar mendapat kebarokahan dengan pasrah supaya mendapat ridhonya sebagai hak yang telah digariskan Allah SWT.
9) Kopi Pait, artinya apapun masalah yang dihadapi harus kuat pendirian serta memiliki kepercayaan diri yang kokoh, supaya tidak terkena marabahaya dan musibah yang sifatnya merugika dan mencelakakan
10) Cai Kopi Amis, artinya bahwa perjuangan yang sangat berat, akan memperoleh hasil seiring dengan sifat budi pekerti yang baik dalam setiap melaksanakan sesuatu atas keridhoan Allah SWT.
11) Cai Kopi Pait, artinya daging ini rasanya pahit tidak mudah luka, sedangkan pahang tulang, tubuh kita tulangnya keras kuat dan tidak mudah dipatahkan.
12) Cai herang, artinya air putih atau air suci yang bening seperti mata yang memancarkan cahaya kewibawaan.
13)Cai susu . Artinya walaupun dari putih jadi coklat, tidak merubah karakter manusia untuk menyembah Allah dengan rasa keimanan yang selalu melekat.
14) Dawegan eusi sir banyu alam, ditumpangan rasa gula kawung, artinya air kelapa yang datangnya dari sumber alam akan mengandung rasa dengan bersatunya dengan gula yang berasal dari pohon aren.
15) Pakarang Pusaka Leluhur Gadjah Putih, yaitu berbagai macam senjata yang dipake pencak silat dan diperoleh selama perjalanan ajaran Gadjah Putih hidup dan berkembang sebagai pusaka Maha Guru pendiri Gadjah Putih.
16) Lisah Pangurutan, kulit leueur belut putih, kulit lita rapet daging, urat kawat waja west teuas raga wedug badan.
17) Artinya minyak ramuan terdiri dari jeruk nipis, minyak wijen, minyak keletik dan minyak cimande.
2. Pelaksanaan prosesi Palakiah Palean Raga (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat, 2019: 17
a) Sebelum pelaksanakan memijat, mengurut dan menotok dimulai, harus disediakan terlebih dahulu air susu, air kopi pait dan air kopi manis dalam wadah (beukong batok kelapa).
b) Selanjutnya diberi mantra/ jangjawokan yang memberikan makna bersifat generik dari berbagai kegiatan masyarakat Sunda (Kalsum, 1990), oleh Guru Besar Gadjah Putih Abah Adang Adjie Saefullah.
c) Setiap murid yang akan di Palakiah Palean Raga diminta untuk meminum air dalam batok kelapa.
d) Selanjutnya para murid dipersilahkan untuk membuka baju untuk dilakukan pemijatan tahap pertama yaitu tangan kanan dan kiri, setelah seluruh anggota badan calon pesilat dioles lisah pengurutan yaitu minyak ramuan yang terdiri dari jeruk nipis, minyak wijen, minyak keletik dan minyak cimande.
e) Selama melakukan proses pengolesan, dibacakan pula mantra/ jangjawakon serta diiringi dengan tabuhan yang terdiri dari dua buah kendang besar dan dua buah kendang kecil (kulanter) yang bertugas mengisi gerak dan tempo, sebuah terompet sebagai pembawa melodi dan sebuah gong kecil sebagai pengatur irama (Gending Raspuzi, 2011: 91) dengan sajian lagu kidung.
f) Selanjutnya kepada tahap jari jemari tangan kanan calon pesilat yang dipijat oleh Abah Adang Adjie Saefulloh. Tangan kanan Abah Adang Adjie menekan tangan calon pesilat sebanyak 3 kali, begitupun sebaliknya pada jari jemari tangan kiri.
g) Setelah bagian tangan selesai, Palakiah Palean Raga berlanjut pada teknik purilitkeun (memutar) tangan ke belakang, sambil diurut dan ditotok untuk melenturkan tangan agar tidak keseleo dan mudah patah.
h) Berikutnya bagian leher, bahu/ punggung dan kepala dilakukan dengan cara memberikan stimulan berupa penotokan pada titik/simpul syaraf tertentu di areanya. Punggung atau bahu dianggap memiliki simpul yang terkoneksi langsung dengan proses terjadinya benturan atau pukulan.
i) Kemudian bagian paha kanan dan kiri, lutut kiri kanan dan berakhir pada kaki kanan dan kiri yang dilakukan pemijatan, pengurutan dan penotokan.
3. Akhir ritual Palakiah Palean Raga (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat, 2019: 20)
a) Akhir ritual Palakiah Palean Raga ditutup dengan memakan tumpeng secara bersama-sama oleh seluruh anggota pesilat maupun calon pesilat Paguron Ajaran Pencak Silat Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka.
Ritual Palakiah Palaean Raga dipandang sebagai ritus yang telah ada sejak zaman dahulu kala dan dikembangkan oleh masyarakat secara turun-temurun. Palakiah Palean Raga merupakan bentuk bagian dari kebudayaan yang di rumuskan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat yang menghasilkan teknologi dan kebudayaan jasmaniah (material culture) dan spiritual yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya. Tradisi Palakiah Palean Raga ditekankan kepada hal yang bersifat supranatural, yakni hal-hal yang berhubungan dengan mistis ritus, dalam selamatan atau upacara.
Salah satu mantra yang terdapat pada ritual Palakiah Palean Raga yaitu: Pande Panda Pandalita Kulit Tepung Daging Manunggal Tulang Waja Urat Kawat, Waduk Banyu Batara Karang.
Makna Ritual Palakiah Palean Raga adalah makna dalam bentuk simbol-simbol yang digunakan baik itu dalam bahasa, makanan, benda-benda dan sebagainya. Simbol-simbol dalam upacara yang dilakukan kelompok masyarakat ini, bertujuan untuk mempertahankan nilai budaya sebagai warisan ajaran leluhur. Ritual Palakiah Palean Raga merupakan upaya preventif ketika menghadapi kondisi dan situasi terjadinya cedera akibat persoalan yang menyangkut psikis dan fisik. Secara psikis kejiwaan, seseorang akan dilatih untuk meyakini adanya unsur kekuatan dalam diri, agar badan menjadi kuat karena adanya unsur latihan yang terukur. Dari unsur psikis dan fisik ini dapat mewujudkan motivasi dikalangan calon pesilat dalam membentuk kekuatan mental dan fisik, sehingga mampun menguasai jurus pencak silat tertentu.
Ritual Palakiah Palean Raga adalah nilai tradisi budaya kearifan lokal yang harus diselamatkan. Begitu pula dengan pandangan mastarakat terhadap adanya ritual Palakiah Palean Raga sangat terbantu, karena bermanfaat dalam pengobatan alternatif akibat cedera seperti terkilir, patah tulang, keseleo, dan terkilir. Artinya terjadi sinergisitas antara masyarakat dengan kearifan budaya lokal yang difungsikan:
a) Sebagai sesuatu ilmu yang menyediakan solusi upaya dan usaha penanganan kesehatan;
b) Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup tentang pengobatan tradisional;
c) Menyediakan simbol identitas budaya;
d) Menguatkan keyakinan tentang nilai-nilai tradisi masyarakat yang bermanfaat bagi masyarakat.