Anak-anak yang berambut gimbal banyak ditemui di dataran tinggi Dieng dan lereng Gunung Sindoro-Sumbing serta di lereng Merbabu dan Kabupaten Banjarnegara. Rambut gimbal dianggap sebagai sesuker oleh karena itu untuk membersihkan sesuker itu harus dengan upacara ruwatan dengan cara mencukur bagian rambutnya yang gimbal. Ruwatan berasal dari kata ruwat yang artinya melepas dari nasib sial. Acara ruwatan dilakukan setelah si anak mengajukan permintaan sebagai persyaratan khusus yang disebut ""bebana"".Masyarakat Dieng meyakini munculnya rambut gimbal merupakan warisan leluhurnya yaitu Kyai Kolodete. Menurut cerita, demi kemakmuran desa, Kyai Kolodete bersumpah tidak akan memotong rambutnya dan tidak akan mandi sebelum desa yang dibukanya menjadi makmur, hal inilah yang menyebabkan keturunan Kyai Kolodete nantinya akan mempunyai ciri rambut yang sama seperti dirinya. Versi lain menyebutkan bahwa munculnya rambut gimbal pada anak-anak merupakan titipan Kanjeng Ratu Kidul di Pantai Selatan terutama bagi masyarakat yang masih menganut kepercayaan Kejawen.
Munculnya rambut gimbal diawali dengan gejala demam selama beberapa waktu. Gejala ini tidak dapat disembuhkan dan akan sembuh dengan sendirinya. Ketika sembuh, rambut sang anak akan menempel satu sama lain hingga menjadi gimbal. Tidak hanya itu, perubahan lain yang dialami oleh anak gimbal adalah tingkah lakunya yang lebih banyak menyendiri. Pada kondisi ini masyarakat menganggap si anak sedang bermain dan berbicara dengan teman gaibnya. Anak-anak yang memiliki rambut gimbal dianggap
membawa kesialan apabila rambutnya tidak diruwat dan sebaliknya akan memberikan rezeki setelah dilakukan pemangkasan.
Proses ruwatan dapat dilakukan apabila sang anak telah meminta sendiri untuk dipangkas rambutnya. Apabila orang tua melanggar maka si anak akan jatuh sakit dan rambutnya menjadi gimbal kembali. Dalam upacara ruwatan nanti orang tua harus memenuhi permintaan yang diinginkan anak rambut gimbal. Permintaan mereka cukup unik ada yang meminta permen, sepeda, kambing, mainan, perhiasan, pakaian dan sebagainya sesuai keinginan mereka.
Tata cara ruwatan Rambut Gimbal
Upacara ruwatan dapat dilakukan apabila keinginan sang anak sudah dipenuhi oleh orang tuanya. Umumnya ritual ini dilakukan ketika si anak telah cukup umur sekitar 7 hingga 10 tahun sehingga tidak merasa takut untuk melaksanakan upacara. Prosesi ruwatan secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Ritual doa, dimulai sehari sebelumnya dengan berdoa dibeberapa tempat agar upacara lancar. Tempat-tempat tersebut yaitu Candi Dwarawati, komplek Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Candi Gatot Kaca, Telaga Balai Kambang, Candi Bima, Kawah Sikidang, komplek Pertapaan Mandalasari (gua di Telaga Warna), Kali Pepek, dan tempat pemakaman Dieng.
2. Upacara Jamasan Pusaka dimalam hari, yaitu pencucian pusaka yang dibawa saat kirab keesokan harinya.
3. Kirab, dimulai dari rumah sesepuh pemangku adat menuju tempat pencukuran. Di rumah tersebut dipersiapkan berbagai sesaji seperti tumpeng dengan beberapa warna, jajanan pasar, bubur nasi, ayam panggang, dan juga kembang setaman. Selama berkeliling desa, anak-anak rambut gimbal mengenakan pakaian adat jawa dan memakai ikat kepala berwarna putih serta dikawal para sesepuh, para tokoh masyarakat, kelompok-kelompok paguyuban seni tradisional serta masyarakat dengan menaiki andong. Prosesi ini berakhir di Sendang Maerokoco atau Sendang Sedayu.
4. Pemandian di sumur Sendang Sedayu atau Sendang Maerokoco. Saat memasuki sumur, anak- anak dilindungi payung Robyong dan kain panjang di sekitar Sendang Maerokoco, kemudian dikawal menuju tempat pencukuran.
5. Prosesi pencukuran, anak berambul gimbal yang mengikuti prosesi dipanggil satu-persatu. Proses pencukuran rambut berlangsung sekitar 30 menit bertempat di depan Candi Arjuna. Rambut yang telah dicukur tersebut dibungkus dengan kain putih untuk dilarungkan kemudian.
6. Penyerahan permintaan, upacara dilanjutkan dengan menyerahkan benda atau permintaan yang diinginkan oleh anak-anak tersebut.
7. Pelarungan rambut, para abdi upacara bertugas menghanyutkan potongan rambut gimbal ke Telaga Warna yang mengalir ke Sungai Serayu dan berhilir ke Pantai Selatan di Samudera Hindia. Pelarungan ini memiliki arti pengembalian bala (kesialan) yang dibawa anak rambut gimbal kepada para dewa dengan harapan akan tergantikan dengan rejeki.