Rebana Biang merupakan rebana Betawi yang istimewa, antara lain dalam hal keunikan alat musik, latar belakang social budaya, wilayah penyebaran, pengaruh kesenian daerah lain, cara membawakan maupun proses teaterisasinya. Ia hampir merupakan perbatasan antara kesenian rakyat Betawi dengan kesenian Sunda, antara kesenian Islam dan non Islam dan antara kesenian yang amatir dengan profesional. Rebana Biang merupakan satu-satunya rebana Betawi yang karena titik berat wilayah penyebarannya berada di wilayah Bogor sehingga terpengaruh Sunda. Rebana ini juga merupakan satu-satunya rebana Betawi yang mengiringi sebuah tari atau teater, yakni Tari Belenggo dan teater Topeng Belantek.
Kampung-kampung di wilayah budaya Betawi yang lain (rebana ketimpring, hadro Betawi, rebana Burdah, rebana Maukhid atau rebana Dor), adalah kampung-kampung yang penduduknya taat beribadat yang dikelilingi oleh kampung yang penduduknya taat beribadat pula. Sedangkan kampung-kampung yang terdapat grup Rebana Biang pada umumnya adalah kampung yang penduduknya taat beragama, namun kampung tetangganya pada umumnya kadar ketaatannya kurang. Tidak terlampau jauh dari tempat berdomisili sebuah grup Rebana Biang, biasanya bertetangga dengan salah satu dari kesenian Rakyat Betawi yang kadar nafas keagamaannya kurang, misalnya Gambang Kromong, Lenong, Tanjidor, Jipeng, Wayang Kulit Betawi, Topeng Betawi dsb, yang sering berpengaruh atau bekerja sama dengan grup Rebana Biang yang bersangkutan.
Apabila kelima bentuk Rebana Betawi yang lain hanya mampu berkomunikasi dengan publik yang taat beragama, Rebana Biang masih mampu berkomunikasi dengan kedua belah pihak. Melihat kepada bentuk fisik alat musiknya saja, kita dapat memaklumi bila Rebana Biang lebih memberikan peluang bagi masuknya unsur humor, berbeda dengan kelima bentuk Rebana Betawi yang lain, yang menuntut cara membawakan yang lebih khidmat.
Pada kelima bentuk Rebana Betawi yang lain yang syairnya sebagian besar dalam bahasa Arab, diucapkan dengan tajwid dan makhraj yang benar. Pengucapan kata-kata Arab dalam lagu Rebana Biang lebih banyak diucapkandengan lidah Indonesia. Pengucapan yang kurang fasih ini bukan karena kekurangmampuan par pemainnya, melainkan karena pertunjukannya mengharuskan demikian. Buktinya antara lain para seniman Rebana Biang di Ciganjur Jakarta Selatan yang sekaligus juga pemain Rebana Ketimpring dan Hadro Betawi, dalam kedudukannya sebagai pemain Rebana Biang ia mengucapkan kata-kata Arab dengan lidah Indonesia, tetapi dalam memainkan rebana Ketimpring dan Hadro Betawi ia mengucapkan kata-kata Arab dengan tajwid dan makhraj yang benar. Dalam hal ketidakfasihan ini, mungkin Rebana Biang ada persamaannya dengan kesenian Rebana Besar di daerah lain seperti “Terbang Gede” di Banten atau “Slawatan “ di Jawa Tengah Selatan, yang cara pengucapan lafadz Arabnya banyak disesuaikan dengan lidah setempat. Wilayah penyebaran musik Rebana Biang adalah di Jakarta Selatan dan Bogor, yakni di sekitar jalan kereta api Jakarta Bogor mulai dari stasiun Kalibata sampai Bojonggede. Di luar itu Rebana Biang juga terdapat di beberapa kampung di wilayah Jakarta Timur dan Bekasi. Kampung-kampung di Jakarta dan sekitarnya yang pada masa lampau atau sampai sekarang masih terdapat grup Rebana Biang, antara lain kampung: Kalibata, Tebet, Condet, Rembutan, Kalisari, Ciganjur, Bintaro, Cakung, Lubang Buaya, Sugih Tamu, Ciseeng, Pondok Cina, Pondok Terong, Sawangan, Pondok Rejeg, Gardu Sawah, Bojonggede, dsb.
Sumber: Buku Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2017