Lintang: 4.6433111
Bujur: 96.8677306
Lokasi Loyang Mendale terletak di Kampong Mendale, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah. Loyang Mendale berada di lereng bukit dan dekat dengan Danau Lut Tawar yang berjarak ± 2-- m. Bagian lantai ceruk relatif kering dan bagian barat laut memiliki lantai yang lebih tinggi daripada di bagian tenggara. Jenis tanaman yang tumbuh di sekitar ceruk antara lain kopi, lamtoro, beberapa jenis bambu hijau dan pepohonan keras lainnya. Masing-masing ceruk memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Ceruk pertama terdapat di tenggara berukuran luas 25,2 m2, bagian mulut ceruk menghadap ke selatan (17-°) berukuran diameter 9 m, dan tinggi 3 m.
2. Ceruk kedua berukuran luas 14 m2, bagian mulut ceruk menghadap barat daya (21-°) berukuran 9 m, dan tinggi 8 m.
3. Ceruk ketiga berukuran 1-2 m2, bagian mulut ceruk menghadap ke selatan (18-°) berukuran diameter 17 m, dan tinggi 5 m.
4. Ceruk keempat berukuran 21- m2, bagian mulut ceruk menghadap barat daya (2--°) berukuran diameter 28 m, dan tinggi 6,5 m (Wiradnyana & Setiawan: 2-11).
Pemilihan lokasi hunian di Loyang Mendale sangat ideal bagi pemenuhan bahan pangan dari unsur hewani, karena kelompok orang masa itu dapat memanfaatkan ceruk tersebut sebagai hunian dan sekaligus sebagai tempat memantau binatang buruan. Mengingat di sekitar lokasi Loyang Mendale arealnya landai dan memiliki aliran air dari hulu ke Danau Lut Tawar (Wiradnyana, 2-11:132).
Temuan Arkeologis di Lokasi Loyang Mendale
Temuan artefaktual yang didapatkan dari ekskavasi ini terdiri atas artefak batu, cangkang kerang, tembikar, dan keramik. Temuan artefak batu yang ditemukan adalah beliung persegi, calon beliung, serta serut samping. Fragmen tembikar yang ditemukan pada umumnya berhias dengan bentuk dasar goresan lurus, dan terdapat juga beberapa tembikar polos. Ditemukan pula sisa pembakaran/residu arang pada beberapa tembikar yang ditemukan. Pada bagian tenggara Lokasi ini, ditemukan fragmen keramik Cina yang membuktikan adanya pemanfaatan ulang Loyang Mendale sebagai lokasi hunian/persinggahan pada masa kolonial dan juga masa kini.
Artefak kerang yang ditemukan dibuat dengan menghilangkan bagian punggung cangkang kerang, sehingga terbentuk seperti sabit. Pada bagian tajaman ditemukan adanya bekas pemakaian. Cangkang kerang berasal dari kelas Arcticidae, yang memiliki habitat hidup di pantai berlumpur dan rawa. Dengan adanya temuan kerang ini diduga adanya pemanfaatan sumber daya marin. Kemungkinan artefak ini berhubungan dengan proses migrasi yang terjadi dari pesisir Aceh ke pedalaman dan sampai di Aceh Tengah.
Temuan ekofaktual didominasi oleh fragmen tulang binatang serta fragmen cangkang kerang non-marin dan marin. Tulang binatang yang ditemukan sebagian besar merupakan tulang panjang binatang. Bagian lain yang ditemukan adalah gigi, fragmen rahang, fragmen tengkorak, serta fragmen tulang sendi. Dari fragmen-fragmen tulang yang masih dapat teridentifikasi diketahui berasal dari tulang punggung ikan (pisces), aves, kepiting (crustacea), dan fragmen tengkorak monyet (macaca). Sebagian lain dari tulang-tulang tersebut ditemukan terbakar, berasosiasi dengan temuan abu pembakaran. Kemungkinan ekofak tulang tersebut berhubungan dengan aktivitas perburuan dan penggunaan api untuk pengolahan makanan. Fragmen cangkang kerang yang ditemukan lebih banyak merupakan jenis kerang yang hidup di lingkungan non-marin. Siput darat yang teridentifikasi adalah planorbidae.
Selain temuan tersebut, dari ekskavasi juga didapatkan temuan kerangka manusia sebagai bukti adanya pemanfaatan ruangan ceruk sebagai tempat aktivitas penguburan. Sedikitnya temuan arkeologis pada bagian barat laut ceruk kemungkinan karena kondisi permukaan yang lebih terjal dibandingkan area lainnya sehingga memudahkan terjadinya transformasi pada tinggalan arkeologisnya (Setiawan, 2--9).
Temuan kerangka manusia di bagian barat laut lokasi dan berada dekat dinding gua, kondisi individu diletakkan di bawah batu. Orientasi penguburan timur—barat dengan kaki terlipat ke arah kiri. Batu yang berada di atas kerangka tersebut kemungkinan merupakan pengaman untuk menghindarkan mayat diganggu oleh binatang buas. Temuan kerangka tersebut berasosiasi dengan fragmen tulang binatang dan fragmen tembikar putih berslip merah. Kemungkinan fragmen tembikar tersebut merupakan bekal kubur karena berada pada satu lapisan stratigrafi dan juga berada di dekat temuan kerangka (Setiawan, 2-11a:184).
Di Asia Tenggara Daratan perlakuan-perlakuan terhadap mayat semacam itu banyak ditemukan pada situs-situs masa mesolitik yang dikaitkan dengan budaya Hoabinh. Selain itu, di situs Gua Cha, Kelantan, yang merupakan situs Hoabinh berasal sekitar 1-.--- sebelum Masehi, dijumpai rangka seorang pemuda yang dikubur terlipat, berbantal lempengan batu dan bagian tubuhnya ditindih dengan bongkahan batu tufa serta ditaburi oker merah (Bellwood, 2---).
Berdasarkan pertanggalan radiokarbon, masa mesolitik di Loyang Mendale berlangsung dari 74--±14- BP sampai dengan 5-4-±13- BP. Masa mesolitik ditandai pula dengan adanya temuan beliung persegi serta gerabah yang merupakan ciri utama budaya periodisasi tersebut. Sedangkan hunian dalam babakan masa Neolitik yang telah berlangsung di Loyang Mendale berkisar dari 358-±1-- BP dan penghunian terakhir pada periode antara 19--±11- BP sampai dengan 174-±1-- BP (Setiawan, 2-11b:313).
Jalur Migrasi
Kelompok ras Australomelanesoid adalah pengusung budaya Hoabinh yang berasal dari Vietnam bagian utara yang hidup dengan mengeksploitasi biota marin. Mereka tinggal di pesisir-pesisir timur Sumatra yang hidup dengan cara berburu dan menangkap ikan serta mengumpulkan berbagai jenis kerang-kerangan ataupun siput sebagai bahan pangan. Keterbatasan bahan pangan, bencana alam seperti banjir dan tsunami menyebabkan mereka berpindah ke pedalaman. Pemilihan lokasi hunian di Loyang Mendale berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari seperti tempat untuk berteduh, mengolah makanan, lokasi perbengkelan dan tempat penguburan (Wiradnyana, 2-13:34).
Indikasi adanya migrasi ditunjukkan dengan adanya manuport beliung persegi yang berasal dari lingkungan Loyang Mendale serta beberapa data ekofak yang berasal dari lingkungan pesisir pantai (marin). Di bagian utara Danau Lut Tawar terdapat Sungai Pesangan. Danau Lut Tawar merupakan hulu dari Sungai Pesangan yang mengalir ke timur dan bermuara ke Selat Malaka. Terdapat kemungkinan bahwa penghuni Loyang Mendale dan sekitarnya memanfaatkan jalur dari Sungai Pesangan tersebut untuk mencapai daerah tersebut karena kondisi lahan yang relatif datar sehingga mudah dilalui (Setiawan, 2--9: 9—1-).