Lintang: -7.8058330
Bujur: 110.3638890
Sejarah berdirinya Kasultanan Yogyakarta diawali dengan adanya Perjanjian Giyanti. Perjanjian tersebut terjadi pada 29 Rabiulakhir 168- atau 13 Februari 1755M. Dengan adanya perjanjian ini maka Kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi dua. Sebagian tatap dikuasi oleh Susuhunan Paku Buwana III dengan Surakarta sebagai pusat pemerintahannya dan sebagian yang lain dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi dengan pusat pemerintahannya di Yogyakarta. Pada 29 Jumadilawal 168- atau 13 Maret 1755 Pangeran Mangkubumi mengumumkan bahwa daerah kekuasannya dinamakan dengan Ngayogyakarta Adiningrat. Ia kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Alaga Abdurrachman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Selanjutnya Sultan Hamengku BUwana I memerintahkan untuk memulai membangun istananya. Lokasi yang dipilih untuk membangun istana tersebut adalah desa Pacethokan dengan hutan Beringan dan terletak di antara dua sungai yaitu Sungai Code di sebelah timur dan Sungai Winongo di sebelah barat. Pembangunan Kraton tersebut dimulai pada 9 Oktober 1755 dan Sri Sultan sendirilah yang memimpin pembangunan tersebut. Pada 13 Sura tahun Jimakir 1682 J atau 7 Oktober 1756M, Sultan Hamengku Buwana I mulai menempati Kraton. Kepindahan Sultan bersama para kerabat dan pengikutnya dari pesanggrahan Ambarketawang ke Kraton diperingati dengan sengkalan memet dwi naga rasa tunggal yang mengandung makna angka tahun 1682 J atau 1756M. Bangunan pertama yang digunakan adalah gedung sedahan. Pembangunan bagian-bagian Kraton yang lainnya dilakukan secara bertahap. Hal ini disebabkan karena situasi keamanan yang belum stabil. Selain membangun Kraton maka Sultan Hamengku Buwana I juga membangun saran kelengkapan lainnya seperti pembuatan benteng keliling, Kompleks Tamansari merupakan tempat rekreasi Sultan beserta keluarganya, Masjid Gedhe dan Pasar Gedhe.