Lintang: -8.5237660
Bujur: 115.2868390
Penelitian terhadap Situs Cagar Budaya Goa Gajah belum menemukan data-data yang menunjukkan adanya pembagian pelataran situs yang biasanya dibagi menjadi tiga. Pembagian yang biasa disebut dengan konsepsi Triloka ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bhurloka, bhuwarloka, swarloka. Goris mengungkapkan bahwa di Indonesia kuna dan Polinesia, tempat-tempat kudus selamanya merupakan suatu tanah lapang yang terbuka dan kerap kali diberi tembok. Kemungkinan besar Situs Cagar Budaya Goa Gajah merupakan salah satu pura kuna yang belum dipengaruhi oleh konsepsi Triloka. Belum ada prasasti yang secara jelas mengacu kepada Situs Cagar Budaya Goa Gajah. Goris pernah mengajukan pendapat bahwa kata “antakunjarapada†yang terdapat dalam Prasasti Dawan yang berangka tahun 975 Saka merupakan nama lain dari Goa Gajah. Kata tersebut juga muncul dalam Prasasti Pandak Badung yang berangka tahun 993 Saka. Pendapat Goris ini didasarkan pada kata “kunjara†yang artinya gajah. Jika hal ini benar, maka Goa Gajah telah ada sejak abad XI Masehi. Tinggalan bercorak Hindu Siwa di Situs Cagar Budaya Goa Gajah, misalnya arca pancuran pada komplek petirthaan, memiliki persamaan dengan arca pancuran di Candi Belahan yang diduga berasal dari abad XI Masehi. Jika hal ini benar, maka kemungkinan besar arca pancuran di petirthaan Situs Cagar Budaya Goa Gajah juga berasal dari abad XI Masehi. Sedangkan tinggalan arkeologi yang bersifat Buddhis ditunjukkan oleh Arca Buddha Amitaba, reruntuhan stupa yang dipahatkan di tebing, serta Arca Hariti. Berdasarkan langgam peninggalan tersebut, dapat dilihat persamaan antara Arca Dhyani Buddha di Situs Cagar Budaya Goa Gajah dengan Arca Dhyani Buddha dari Borobudur yang berasal dari pertengahan abad ke-9 Masehi. Kompleks Situs Cagar Budaya Goa Gajah dibagi menjadi dua, yaitu kompleks di sebelah utara dan disebelah selatan. Keduanya dibatasi oleh parit yang cukup dalam. Ditinjau dari arsitekturnya, maka kompleks sebelah utara menunjukkan tanda-tanda Siwaistis, sedangkan sebelah selatan menunjukkan corak Buddhis. Rupanya pada masa lampau kedua kompleks ini digunakan oleh pendeta Siwa dan Buddha dalam satu periode. Hal ini menunjukkan bahwa kedua agama ini hidup berdampingan karena agama Hindu dan Buddha Mahayana luluh menjadi satu di Bali. Nama Lwa Gajah terkadang dikaitkan dengan Goa Gajah. Nama Lwa Gajah dicantumkan dalam lontar Nagarakertagama 14.3b dan 79.3c. Di dalam lontar itu disebutkan bahwa desa yang berdekatan dengan Lwa Gajah bersemayam Sang Boddadyaksa. Hal ini dihubungkan dengan adanya arca Buddha di kompleks ini. Selain itu, nama Er Gajah juga diperkirakan merupakan nama lain dari Pura Goa Gajah dimasa lampau. Nama itu tercantum dalam prasasti Raja Dharmmawangçawardhana Marakata Pangkajasthanot Tunggadewa berangka tahun 1022 M dan Prasasti Raja Bhatara ?ri Mahaguru yang berangka tahun 1324 M. Namun bila diperhatikan nama-nama tersebut dalam konteksnya, maka peranan Er Gajah dalam kurun waktu 300 tahun (1022 – 1324) itu mengalami perubahan. Pada tahun 1022 M, Situs Cagar Budaya Goa Gajah dihubungkan dengan pengaturan air dipersawahan (ser) dan pada tahun 1324 M berhubungan dengan pejabat pendeta Siwa (Rajadhyaksa). Dapat ditambahkan bahwa Nagarakertagama yang ditulis empat puluh satu tahun sesudah penulisan prasasti tersebut tidak menyebut adanya Er Gajah. Pada masa lampau Goa Gajah digunakan sebagai tempat bersemadi oleh para pendeta atau para yogin. Selain itu, besar kemungkinan bahwa raja juga ikut bersamadi di goa tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa kehidupan raja-raja pada masa lampau dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama adalah ketika masih muda maka dinobatkan sebagai raja muda atau Ywaraja. Setelah dipandang cukup waktunya untuk mengendalikan pemerintahan, maka Ywaraja dinobatkan menjadi raja untuk menggantikan ayahnya. Raja yang telah menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada putranya lalu pergi mengasingkan diri ke tempat pertapaan. Raja yang demikian itu disebut Rajarsi. Dalam pertapaan itulah ia tinggal dan bersemadi untuk mencapai ketenangan jiwa sebagai persiapan menuju ke alam baka.